–Catatan: USYAQUL HURR–
SALAM-ONLINE: Berita penyerbuan kantor majalah Charlie Hebdo di Paris mengejutkan banyak pihak. Publik internasional langsung bereaksi. Tentu mayoritas reaksi bernada mengecam, mengutuk, tidak setuju, walaupun ada juga sedikit yang bersuara dengan perspektif berbeda menyikapi aksi tersebut.
Kelompok militan Islam langsung disebut sebagai dalang dari aksi tersebut. Analisis bermunculan. Ada yang mengatakan mereka berasal dari jaringan Al-Qaidah. Ada juga yang menyebut mereka berasal dari jaringan organisasi Daulah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi.
Dari berbagai temuan di TKP, media-media Eropa meyakini tiga orang pelaku berasal dari jaringan Al-Qaidah Yaman. Pasalnya, selain adanya keterangan saksi, kesimpulan ini diperkuat dengan fakta bahwa majalah Inspire yang diterbitkan Al-Qaidah Yaman pada 2013 lalu pernah menyerukan untuk menghukum bunuh para pencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihiwa sallam. Sementara itu telah diketahui oleh publik bahwa majalah Charlie Hebdo beberapa kali memuat konten yang melecehkan Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam dan Islam secara umum.
Keriuhan soal insiden di kantor majalah Charlie Hebdo juga terjadi di kalangan internal umat Islam. Pro kontra bermunculan. Amat disayangkan sebagian umat Islam terburu-buru mengutuk aksi tersebut sebelum mengetahui dengan jelas motif di balik aksi serangan itu.
Sebagai Muslim idealnya kita wait and see dulu sebelum berkesimpulan, dan melihat beberapa variabel yang terkait dengan sebuah peristiwa. Sekarang kita coba berpikir lebih tenang dan proporsional. Mari kita pahami dengan baik peristiwa tersebut dengan asumsi bahwa pelakunya adalah umat Islam yang bertujuan menghukum orang-orang atau suatu media bernama Charlie Hebdo yang telah beberapa kali mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sosok yang amat dimuliakan oleh umat Islam.
Hukum bunuh bagi siapapun yang mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah jelas dasarnya.
Ka’ab bin Al-Asyraf menghina Nabi Muhammad shahllallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Siapa yang mau membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka jika aku membunuhnya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.” Singkat cerita, Ka’ab bin Al Asyraf pun dibunuh oleh Muhammad bin Maslamah. (Muttafaq ‘Alaih dari Jabir).
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Barangsiapa yang mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka dia harus dibunuh!”
Berdasatkan hadits di atas dan hadits-hadits senada, para ulama menyimpulkan sebagai berikut:
Imam Ahmad mengatakan, “Setiap orang yang mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menjelek-jelekkannya, entah dia Muslim atau kafir, dia harus dihukum mati. Dia dibunuh dan tidak perlu diminta taubat!”(Ash Sharim Al Maslul).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah menegaskan, “Kesimpulannya, bahwasanya jika orang yang menghina itu Muslim, maka dia dikafirkan dan dibunuh tanpa ada perbedaan pendapat, dan ini adalah madzhab keempat imam serta selain mereka. Adapun jika yang menghina adalah orang kafir, maka dia pun juga dibunuh!” (Ash Sharim Al Maslul).
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahumullah menyatakan, “Ibnul Mundzir menukil adanya kesepakatan umat bahwa barangsiapa yang mencela Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terang-terangan, maka dia wajib dibunuh!” (Fathul Bari).
Membunuh seseorang sebagai alasan mereka telah menghina Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekali lagi, jelas, ada dasar hukumnya dalam Islam.
Jika kita cermati perkara di atas dari kacamata seorang Muslim, maka jelas sah-sah saja membunuh siapa pun yang mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan jika kita memang benar-benar menyadari bahwa Islam adalah ajaran (sistem) yang wajib ditinggikan di atas sistem-sistem lain di luar Islam.
Jika dilihat dari kacamata orang Islam awam yang belum memahami Islam secara utuh pun sebenarnya timdakam menghukum bunuh bagi pencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sangat baik dan proporsional. Mengapa?
Mari kita melihat realitas di sekitar kita, tawuran pelajar, tawuran antar supporter sepak bola, tawuran antar warga. Salah satu sebab utama terjadinya tawuran tersebut adalah saling ejek, adu mulut yang kemudian melukai banyak orang yang mendukung satu pihak, kemudian saling berbalas, dan terjadilah tawuran atau bisa dikatakan peperangan fisik yang massif.
Menghukum bunuh bagi penghina Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya melokalisir sebuah kasus agar tidak berkepanjangan, menyebabkan kerusakan yang lebih besar dan merugikan banyak pihak seperti terjadinya peperangan fisik yang massif. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa umat Islam dilarang mencela simbol-simbol orang kafir di luar Islam, silakan lihat Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 108.
Selain itu, hukuman bunuh bagi penghina Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dijatuhkan atas dasar kenyataan penghinaannya tanpa memandang keyakinan yang dianut oleh pelaku (penghina)nya, apakah Muslim ataupun kafir (di luar Islam), hukuman yang dijatuhkan sama, yaitu bunuh. Dari konsep ini kita bisa menyimpulkan bahwa menghukum bunuh penghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali bukan ditujukan untuk menabuh genderang perang, khususnya kepada orang kafir. Ini murni hukuman bagi pelaku.
Sekali lagi, inilah bentuk lokalisir sebuah kasus agar tidak meluas saling ejek melibatkan dan merugikan banyak pihak.
Menilik sisi keadilan dalam konteks hukum bunuh bagi penghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat Nampak. Bahkan bukan hanya adil tapi memang benar-benar proporsional dan solutif.
Bayangkan, satu orang menghina Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdampak melukai perasaan seluruh umat Islam. Sementara hukumannya hanya berdampak pada orang tersebut atau segelintir orang yang terlibat langsung tanpa melukai perasaan orang kafir atau penganut agama lain.
Lagi-lagi ini sebagai upaya membendung dan menutup pintu terjadinya konflik yang meluas antar Islam dan kafir (di luar Islam). Ingat, adil bukan sama rata, tetapi menempatkan sesuatu sesuai tempat dan proporsinya.
Setelah pemaparan di atas sebagai umat Islam, mari kita berpikir jernih dengan akal sehat kita yang merdeka.
Jangan berpikir menggunakan akal yang rusak timbangannya dan tidak merdeka. Akal yang telah ter-hegemoni dan dimiliki orang bermental kalah. Mereka adalah orang yang selalu memaklumi kejahatan atau kezaliman apapun yang dilakukan orang kafir di luar Islam, khususnya Barat, dengan dalih akhlak mulia dari Nabi shallalhu ‘alaihi wa sallam dan konsep Islam Rahmatan lil Alamin yang dipotong-potong semaunya dan diselewengkan maknanya. Mereka mengaku toleran dan moderat, padahal akal pikirannya selalu berat sebelah memihak kepada yang seharusnya tidak diberi loyalitas.
Terakhir, jadilah umat Islam yang memiliki akal sehat dan pikiran yang merdeka dengan didasari oleh ajaran Islam yang lurus. Jadilah Muslim yang memiliki Izzah, karena itulah teladan warisan dari salaful ummah.
Usyaqul Hurr — Pengamat Pergerakan Islam