BOGOR (SALAM-ONLINE): Siapa yang tak ingin hidup nyaman, dengan mendapatkan uang tanpa harus bekerja? Itulah potret kehidupan para imigran di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menonton televisi, makan, ke tempat hiburan malam, menjadi pemandangan sehari-hari para imigran Syiah asal Afghanistan di kawasan sejuk berhawa gunung ini.
Mereka sanggup menempuh jarak kiloan meter dari kawasan pedalaman Cisarua hingga ke Jalan Raya Puncak, untuk membeli kebutuhan sehari-sehari.
Salah satu imigran Syiah Afghanistan di daerah Bogor adalah Ali Rezaei. Pria berumur 26 tahun ini kami temui usai keluar dari sebuah mini market di Kecamatan Cisarua.
Dengan rambut bergaya mohawk dan bercelana pendek, Ali Rezaei keluar menenteng sejumlah belanjaan di tangannya.
Ali, begitu ia disapa, menjelaskan sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Dia mengaku kerasan tinggal di Bogor karena masyarakatnya terkenal ramah.
“Indonesia sangat bagus. Orang-orangnya ramah. Saya suka Cisarua, Bogor,” ujar dia dengan bahasa Inggris cukup fasih kepada tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Tidak banyak kegiatan yang dilakukannya di Bogor. Tidur, makan, menonton TV, dan belanja, kata Ali, menjadi sederet aktivitas hariannya.
Ali mengaku, bisa menjadi imigran di Indonesia atas bantuan lembaga PBB untuk para pengungsi alias UNHCR. Selain mendapatkan kiriman uang dari keluarganya di Afghanistan, Ali juga mendapatkan biaya hidup dari UNHCR.
“UNHCR memberi saya makan dan tempat tinggal,” ujar imigran Syiah beretnis Hazara ini.
Saat ditanya apakah ada keinginan untuk kembali ke Afghanistan, Ali menegaskan keinginan itu hanya akan menjadi masalah jika terwujud. Maka dalam waktu dekat, ia mengaku, belum mau kembali ke Afghanistan.
“Itu masalah buat saya. Saya tidak mau kembali ke Afghanistan sekarang sebab masih ada Taliban. Itu masalah yang sangat besar di suku Hazara. Al-Qaidah tidak suka dengan Hazara,” ujar dia yang meyakini Taliban sebagai organisasi “teroris”.
Hal senada juga dikatakan tiga orang imigran Syiah lainnya di Bogor; Muhammad Husein, Ahmad Husein dan Haidri. Berbeda dengan Ali, Muhammad Husein dan kawan-kawan mengaku berasal dari Pakistan.
Saat ditemui, ketiganya langsung mengajak tim JITU untuk masuk ke sebuah warung kopi. Di situlah, mereka biasa “nongkrong” menghirup udara malam kawasan Puncak. Seketika Ahmad Husein langsung menaruh tasnya di atas meja, dan memesan kopi dengan bahasa Inggris campur Indonesia.
Bersama rekan-rekannya, Ahmad Husein mengaku sudah tinggal selama satu tahun di Bogor. “Kami tidak bekerja karena tidak mendapat izin dari UNHCR,” ujar dia yang menolak untuk difoto.
Sementara itu, Muhammad Husein membantah jika dikatakan Imigran Syiah di Indonesia meresahkan.
Hubungan para imigran Syiah dengan masyarakat, kata dia, berjalan cukup harmonis.
“Muslim di Indonesia moderat. Orang Indonesia baik,” ujar Muhammad Husein. Dia mengaku tak risau hidup di Indonesia meski mayoritas berasal dari kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jamaah.
Meski kelompok Syiah memiliki komunitas di Indonesia, Muhammad Husein menerangkan, tidak memiliki koneksi. “Kami tidak kenal dan kami tidak menghubungi organisasi Syiah yang ada di Indonesia,” ujarnya yang langsung berseri-seri ketika kami tanyakan tentang Karbala.
Namun saat ditanya mengenai praktik nikah mut’ah yang banyak dilakukan para imigran Syiah, ketiganya diam sejenak. Tak lama kemudian, Husein menjawab, “Itu tidak benar.”
Laporan Azeza Ibrahim Rizki dan Andi Ryansah