SALAM-ONLINE: Siapa tak kenal dengan Kiai Mas Mansoer? Tokoh kelahiran Surabaya, 25 Juni 1896 ini dikenal sebagai aktivis Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang cukup disegani.
Pada usianya yang sangat belia, 12 tahun, ia berangkat ke Makkah Al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu. Setelah itu, Mas Mansoer muda melanjutkan kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, selama tiga tahun.
Semasa hidup, Kiai Mas Mansoer adalah aktivis pergerakan dengan segudang pengalaman. Ia pernah menjadi Ketua Mu’tamar Al-Alam Al-Islami far’u Hindi Syarqiyah (Muktamar Dunia Islam Cabang Hindia Timur) dan Ketua Haji Organisasi Hindia (HOH).
Bersama pimpinan Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto, Kiai Mas Mansoer pernah datang menghadiri Kongres Mu’tamar Al-Alam Al-Islami di Makkah.
Pada 1937, bersama para ulama lainnya seperti KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansoer terlibat dalam mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Sebagai ulama dan aktivis pergerakan, Kiai Mas Mansoer dikenal luas dalam pergaulan. Termasuk dengan orang-orang yang secara pemikiran berseberangan dengannya.
Di antara teman pergaulan dan sahabatnya dalam berdiskusi adalah dokter Soetomo, tokoh pergerakan nasional alumnis Sekolah Kedokteran di Batavia yang juga aktivis Boedi Oetomo. Jika sudah berdiskusi, mereka bisa menghabiskan waktu sampai larut malam.
Dr. Soetomo dikenal sebagai tokoh yang pernah melontarkan pandangan yang sinis terhadap Islam dan kaum Muslimin. Pandangan hidup dan keyakinannya adalah kejawen.Ia sosok yang pernah mengatakan bahwa ke Digul (Papua/tempat pengasingan orang-orang kiri) itu lebih baik ketimbang berhaji ke Makkah.
Dengan bahasa yang sinis, Soetomo mengatakan, orang-orang yang pergi haji hanya memperkaya bangsa asing (Arab).
Suatu hari, kata KH Mas Mansoer, ia duduk berdiskusi dengan dr. Soetomo. Kepada Soetomo ia mengatakan, pandangan filsafat dan keyakinan yang dianut oleh temannya itu sama dengan apa yang diyakini oleh filsuf Ibnu Arabi, Muhammad Abduh, dan Farid Wajdi.
”Ketiga tokoh itu berpandangan bahwa segala apa yang ada di dunia ini, adalah pancaran dari Zat Tuhan. Tuhan menjelmakan Zat-Nya pada segala benda. Tuhan ada di mana-mana di segala benda yang ada,” terangnya.
Ketika diberi tahu soal itu, betapa senangnya hati dr. Soetomo. Ia menangis terharu, penuh suka cita. Ia menganggap apa yang selama ini diyakininya sudah benar, seperti ketiga filsuf Islam tersebut. Saking senangnya, kata Kiai Mas Mansoer, Soetomo bahkan nyaris berteriak.
“Tuan Mansoer, itu benarlah keyakinan saya. Itulah kepercayaan yang mengalir bersama darah dalam segala urat di tubuh saya. Sungguh sesuai, sesuai benar,” ujar Soetomo dengan mimik wajah haru, sambil meletakkan kedua tangannya di wajah.
Ia haru, bahwa keyakinannya selama ini tentang Tuhan, sama dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh Islam itu. Sang kiai yang mendengar itu membatin, rupanya benar bahwa Soetomo sudah banyak mendalami kitab agama Budha, yang hakikat kepercayaan yang dikandungnya, sama dengan ketiga filsuf tersebut.
Setelah keharuannya mereda, tiba-tiba Soetomo dikagetkan dengan pernyataan KH Mas Mansoer yang mengatakan, “Tapi saya tidak setuju dengan kepercayaan itu…”
“Mengapa Tuan Mansoer tidak setuju?” tanya Soetomo.
“Jiwa saya tidak sanggup membenarkannya, sebab semuanya itu berlawanan dengan pelajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, jauh berbeda dengan Qur’an yang diturunkan Tuhan,” jawab Kiai Mas Mansoer menjelaskan.
“Itu filsafat mengandung paham, bahwa sebelum semua benda ada, asal benda sudah ada, yaitu Tuhan. Tuhan yang menjelma menjadi segala benda. Jadi tidak berbeda antara Tuhan dengan benda. Tuhan itu benda, benda itu Tuhan,” ujar Kiai Mas Mansoer menjelaskan.
“Keyakinan saya tidak begitu, Tuan Soetomo! Segala benda itu asalnya tidak ada, kemudian diadakan. Yang mengadakan ialah Tuhan. Jadi berbeda antara Tuhan yang menjadikan dan alam yang dijadikan. Tuhan Khaliq, alam makhluk. Itulah yang sesuai dengan firman Allah dan sabda Nabi…,” terangnya lagi kepada Soetomo.
“Tetapi mengapa ketiga filsuf Islam itu berpandangan demikian?” tanya Soetomo.
Kiai Mas Mansoer menjelaskan, “Mereka lelaki, saya pun lelaki. Mereka mempunyai pikiran, saya pun mempunyai pikiran pula. Mereka merdeka dengan pikirannya, saya pun merdeka dengan pikiran saya. Tetapi kemerdekaan saya terbatas, dan kemerdekaan mereka bebas tiada bertepi.Karena mereka terlalu membiarkan pikiran dan perasaannya bebas, hal yang kejadian pada ahli filsafat sampai mereka lupa bahwa mereka dilarang memikirkan Zat Allah sedalam-dalamnya, sebab menyesatkan. Karena tidak ada yang tahu Zat-Nya, kecuali Allah sendiri.”
Dengan bahasa yang lugas ia kemudian menegaskan, “Kalau sekiranya orang alim dan orang-orang pandai menganggap pendirian saya termasuk bagian yang rendah, maka jiwa saya sudah tenang. Senang menurut jejak Nabi dan sahabat-sahabat, menurut tuntunan Qur’an yang suci. Apakah yang lebih lagi daripada itu bagi saya?!”
Lalu Kiai Mas Mansoer menceritakan, pertukaran pikiran itu tidak membuat keyakinan Soetomo tentang Tuhan berubah. Soetomo tetap pada pendiriannya, yang menyatakan bahwa manusia adalah penjelmaan dari Tuhan.
“Akhirnya di antara kami masih tetap berdiri sebuah gunung yang tinggi, yang memisahkan kami dalam keyakinan masing-masing. Beliau tetap berdiri di luar sana, saya tetap berdiri di luar sini. Beliau tetap pada pendiriannya, kita pun tetap pada pendirian kita. Pendirian beliau, alam ini penjelmaan Tuhan. Pendirian kita, kita ini makhluk Allah…,” katanya.
Kiai Mansoer menjelaskan, bahwa dua dari tiga filsuf itu (Farid Wajdi dan Muhammad Abduh) kemudian, taubat dari pemikirannya. Sementara Ibnu Arabi, ketika itu, ia belum mendapati kabar mengenai pemikiran yang bersangkutan selanjutnya.
Memang, setelah dr. Soetomo meninggal, banyak orang yang mempertanyakan, apakah aktivis Boedi Oetomo itu sudah berubah keyakinannya dan kembali pada keyakinan Islam yang sesungguhnya?
Pertanyaan ini menjadi isu yang berkembang ketika itu. Apalagi, pada masa itu, banyak aktivis Boedi Oetomo yang masuk ke dalam organisasi Theosofi, yang juga mengajarkan filsafat Ketuhanan, bahwa manusia adalah pancaran Ilahi, pletik Tuhan, God in being, yang sejalan dengan paham wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti).
Meski antara dirinya dan Soetomo ada perbedaan pandangan yang tajam, namun persahabatan mereka tetap terjaga. Ia tetap menjalin hubungan yang baik, sambil terus berusaha mengingatkan sahabatnya tersebut.
Sebagai seorang dokter, Soetomo bahkan banyak terlibat aktif membantu kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan Muhammadiyah.
Kisah diskusi tentang Ketuhanan antara Kiai Mas Mansoer dengan dr. Soetomo ini ditulis dalam buku “Rangkaian Mutu Manikam dari Kiai Hadji Mas Mansur”, sebuah buku berisi pidato dan karangan-karangan tersiar sang kiai yang diterbitkan di Surabaya, Jawa Timur. (Artawijaya)