SALAM-ONLINE: Tiga kali PKI berupaya melakukan kudeta; 1926-1927, 1948, dan 1965. Kudeta yang ketiga akibat Soekarno merangkul dan memberi angin bagi para kader Palu Arit tersebut.
Jakarta, 28 Oktober 1956. Setelah selama 12 hari berkunjung ke negara-negara Komunis, Soekarno melontarkan sebuah konsepsi yang mengagetkan rakyat, terutama para politisi. Tokoh yang pada masa akhir kekuasaannya menjalin hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu melontarkan sebuah konsepsi pemerintahan yang ia sebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Lima bulan kemudian, pada Februari 1957, secara terbuka Soekarno menyampaikan gagasannya tersebut di hadapan rakyat Indonesia.
Umat Islam melihat gelagat Presiden Soekarno sebagai upaya membangun kekuasaan yang tiran, otoriter, dan anti demokrasi. Sebab, istilah “Demokrasi Terpimpin” tak lebih dari upaya Soekarno untuk menundukkan demokrasi di bawah kepentingan dan hasrat politiknya. Karena itu, Partai Masjumi melalui para tokohnya menolak keras gagasan tersebut. Apalagi, kepribadian Soekarno yang meledak-ledak makin menimbulkan kekhawatiran rival politiknya jika konsepsi tersebut diterapkan.
Selain itu, tentu saja lawatan Soekarno ke Uni Soviet dan Cina, dua negara Komunis yang sangat kuat pada masa itu, makin membuat umat Islam waspada terkait ide dan gagasan Soekarno. Karena pada masa itu, Komunisme Internasional (Komintern) melalui Soviet dan Cina, sedang menebar jaring untuk meluaskan pengaruhnya ke berbagai negara. Di antara yang mereka jalankan adalah strategy pocket army, yaitu dengan menyusupkan kader-kader Komunis ke dalam elit militer di negara-negara garapan. Atau paling tidak dengan mempersenjatai rakyat untuk kepentingan politik. Bantuan senjata itu akhirnya dikirimkan dari Polandia, Cekoslovakia dan Polandia atas desakan Soviet pada sekitar April dan Agustus 1957. (RZ Leirissa, PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1991, hlm. 24-25)
Selain menggagas “Demokrasi Terpimpin”, Soekarno juga melemparkan wacara terkait keinginannya untuk membubarkan partai-partai yang ada. Menurutnya, dengan banyaknya partai akan menimbulkan penyakit “kepartaian” yang lebih berbahaya dari fanatisme kesukuan atau kedaerahan. Soekarno juga membangun poros baru Jakarta-Hanoi-Peking yang sangat menguntungkan Partai Komunis Indonesia.
Gaya kepemimpinan Soekarno kian hari kian terjerumus pada gaya otoriter yang berbalut kultus individu. Ia lebih senang dipanggil sebagai “Bapak Revolusi” dan juga terjebak pada retorika Komunis yang selalu mengampanyekan jargon “Revolusi Belum Selesai”. Perjalanan selanjutnya, Soekarno juga memaksakan kehendaknya dengan jargon politik Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme), dimana agama dijepit di antara ideologi-ideologi buatan manusia, dengan diiringi stigma “kepala batu” bagi mereka yang menolak ide Nasakom. Ide ini disambut oleh para pendukungnya dengan yel-yel, “Nasakom jiwaku, singkirkan kepala batu!”
Puncak hubungan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia makin membuat para penentang Komunis berang, ketika pada 9 April 1957, Soekarno melansir Kabinet Ekstra Parlementer baru, dimana para kader Palu Arit duduk sebagai anggotanya, seperti peraih Hadiah Perdamaian dari Joseph Stalin, Prof. Prijono, yang duduk sebagai Menteri Pendidikan, Sadjarwo sebagai Menteri Pertanian, dan AM Hanafi (Sekjen Kongres Rakyat Radikal) sebagai Menteri untuk Mobilisasi Energi Rakyat. Kebijakan inilah yang membuka ruang bagi PKI untuk berkiprah di lingkar elit kekuasaan. Atmadji Sumarkidjo, Mendung di Atas Istana Presiden, Jakarta: Sinar Harapan,2000, hlm.97)
Soekarno makin memantapkan konsepsi kepemimpinannya setelah pada 17 Agustus 1959 ia memberikan pidatonya di Istana Negara dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dalam pidatonya, ia kembali menegaskan soal konsep “Demokrasi Terpimpin” dengan menjadikan Manipol-Usdek (Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial) jargon politik yang menjadi jualan.
Meski sebelumnya Soekarno mengatakan bahwa konsep “Demokrasi Terpimpin” adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa otokrasinya diktatur, namun pada kenyataannya, atas tuduhan “kontra revolusi” dan menghalangi jalannya “Revolusi yang Belum Selesai”, Partai Masjumi ditekan hingga akhirnya bubar. Soekarno juga membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantinya dengan DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang berisi orang-orang yang disukainya. (Lihat, Dr. A. Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988, hlm.53-56).
Melihat sikap dan kebijakan Soekarno yang mengarah pada perilaku otoriter dan dekat dengan PKI, maka Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian mengundurkan diri dari jabatanya. Ia juga menolak keras rencana Soekarno membubarkan partai-partai yang ada, karena Hatta termasuk orang yang terlibat dalam Maklumat Pemerintah No. X tahun 1945 yang memberikan ruang bagi rakyat Indonesia untuk berkiprah dengan mendirikan partai politik. Maklumat inilah yang membuka kran bagi sistem multipartai.
Kedetakan Soekarno dengan PKI sebagai pengawal dari proyek Nasakomnya kemudian mengalami gesekan dengan Angkatan Darat. Tentara yang trauma dengan aksi kudeta PKI pada tahun 1926-1927 di Jawa dan Sumatera dan 1948 di Madiun, merasa khawatir dengan sikap presiden tersebut. Keretakan hubungan Soekarno dengan Angkatan Darat semakin memuncak, ketika pada 16 September 1959, tentara berusaha menunda Kongres PKI ke-6 di Jakarta, Soekarno justru memberikan izin dan hadir memberikan amanat dalam kongres tersebut. (Herbert Feith, Soekarno, Militer dan Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Sinar Harapan, 1995, hlm. 44).
Hubungan Soekarno semakin erat, ketika dia hadir dalam acara Ulang Tahun PKI ke-45 yang diselenggarakan di Jakarta. Dalam acara tersebut, PKI yang pernah gagal dua kali dalam melakukan kudeta, unjuk kekuatan dengan pawai di jalan-jalan. Para kader dan simpatisan PKI melakukan arak-arakan dengan membawa poster para pemimpin Komunis Internasional, seperti Karl Marx, Mao Tse Tung, Lenin, Stalin, dan sebagainya. Kehadiran Soekarno pada acara itu, sekali lagi menuai protes dari umat Islam. Menanggapi hal itu, Soekarno malah menuding orang-orang yang memprotesnya sebagai pengidap Komunistophobia dan anti Nasakom. “Republik ini harus zonder (kosong) dari phobi-phobian,” ujarnya.
Untuk menjaga konsepsi Demokrasi Terpimpin, Manipol-Usdek dan Nasakom, Soekarno kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 1963, yang kemudian menjadi UU Anti Subversif. Tokoh umat Islam, Buya Hamka, menjadi salah seorang korban dari UU tersebut, dimana ia dipenjara tanpa melalui proses persidangan. Sebelum masuk penjara, Buya Hamka bersuara lantang menolak Nasakom dan mengatakan bahwa Islam saat itu berada dalam ancaman kekuatan yang membahayakan, yaitu Kristenisasi dan Komunisme. “Orang yang mengatakan Islam dalam bahaya itulah, sesungguhnya yang sedang dalam bahaya,” sindir Soekarno menyikapi pernyataan Hamka.
Di lingkar elit kekuasaan, kader-kader Komunis mulai bergeliat. Tokoh PKI, D.N Aidit, Lukman, dan Njoto, diminta untuk duduk dalam pemerintahan. Di berbagai daerah, kader-kader Palu Arit mulai menduduki jabatan sebagai gubernur, walikota, bupati, dan lain-lain. Bahkan, ada dari mereka yang duduk di Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perancang Nasional, dan Badan Musyawarah Pimpinan Agama. Sekali lagi, kebijakan Soekarno ketika itu membuat marah umat Islam yang menolak Nasakom dan membuat gerah Angkatan Darat.
Sementara Nahdhatul Ulama, yang dengan setia ikut dalam Kabinet Nasakom dan berada di balik konsepsi tersebut, akhirnya mengalami kekecewaan yang tragis, setelah banyak dari para santri dan kiai mereka yang gugur dalam konfrontasi fisik dengan para aktivis Palu Arit di Jawa Timur.
Nasi sudah menjadi bubur. Sikap pragmatis NU mendukung Nasakom berakhir dengan tragedi yang memilukan. Begitu pun dengan Soekarno, ia yang terkenal dengan slogannya, “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah), justru lupa terhadap kudeta berdarah Komunis. Soekarno lupa, bahwa revolusi yang menghasilkan kemerdekaan pada tahun 1945, sempat dikotori oleh ulah komunis dengan melakukan pemberontakan Madiun pada 1948. Ia juga lupa, pemberontakan PKI sebelumnya pada tahun 1926-1927, adalah langkah pemanasan mereka dalam menggerakkan revolusi dan mendapatkan simpati Komunisme Internasional.
Jika tahun 1948 PKI secara terang-terangan mengorganisir massa dengan senjata untuk melakukan pemberontakan dan mendirikan Negara Soviet Merdeka, maka pada 1965, dengan membentuk organisasi clandestine Biro Khusus dan pembentukan sel-sel yang menyusup ke berbagai instansi, termasuk ke dalam tubuh ABRI, PKI berusaha melakukan kudeta berdarah.
Rencana perebutan kekuasaan sudah direncanakan oleh para tokoh dan kader PKI sejak Agustus 1965. Sebelumnya, mereka juga memang sudah merencanakan untuk membuat perhitungan kepada Angkatan Darat yang dinilai sebagai penghalang program-program PKI, terutama dalam melebarkan sayap indoktrinasinya ke berbagai daerah. PKI mempertimbangkan saat yang tepat untuk melakukan kudeta, mengingat Angkatan Darat masih kuat secara sosial politik.
PKI yang mulai mengkhawatirkan kesehatan Presiden Soekarno dan takut bahwa jika Soekarno tidak ada maka mereka akan tersingkirkan juga, makin melakukan pematangan untuk aksi kudeta. Biro Khusus, sebagai sayap clandestine PKI melakukan persiapan-persiapan, termasuk melakukan pelatihan militer di daerah Lubang Buaya, Jakarta, yang dikoordinasikan oleh Mayor Sujono. Pada angkatan kedua, pelatihan diubah oleh Mayor Sujono dengan melatih massa yang terdiri dari Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Barisan Tani Indonesia (BTI), Mahasiswa yang tergabung dalam Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMNI), Pemuda Rakyat, dan kaum buruh tani non-partai. Dari golongan Komunis yang ikut hadir dalam pelatihan itu berjumlah 2.000 orang. (Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalan Mengkomuniskan Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 2007, hlm.18)
Hari Jumat, tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, PKI mulai melancarkan kudeta dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal Angkatan Darat. Menurut rencana, aksi kudeta itu akan dilakukan tanggal 30 September dini hari, namun karena para komandan satuan yang akan melakukan penculikan belum seluruhnya berkumpul, sehingga rencana diundurkan 24 jam. Meski aksi kudeta dilakukan tanggal 1 Oktober, nama yang digunakan untuk melakukan kudeta tersebut tetap disebut Gerakan 30 September. Hal ini dapat dilihat dalam Dekrit No. 1 tentang Dewan Revolusi dan Keputusan No. 1 tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia, serta Keputusan No. 2 tentang Penurunan dan Penaikan Pangkat yang disiarkan melalui RRI Pusat, yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Untung, semuanya menggunakan istilah Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi Indonesia. Karena peristiwa itu didalangi oleh PKI, maka disebut sebagai Gerakan 30 S/PKI
Dalam kudeta berdarah itu, tujuh jenderal revolusi diculik, dibantai dan dimasukkan ke dalam sebuah lubang dengan cara yang sadis. Sambil meneriakkan kata-kata “ganyang kabir” (Kapitalis-Birokrat) dan menyanyikan lagu genjer-genjer, para anggota PKI melakukan aksi biadabnya. Peristiwa ini kemudian diketahui Angkatan Darat, yang kemudian melakukan aksi penggagalan kudeta tersebut.
Kembalinya PKI yang berupaya melakukan kudeta berdarah dalam merebut kekuasaan pada tahun 1965 adalah kelalaian sejarah pemerintah Soekarno dan rakyat Indonesia yang dengan mudah melupakan dosa pemberontakan yang dilakukan PKI pada 1948.
Kini setelah puluhan tahun tragedi tersebut berlalu, upaya-upaya untuk ‘mencuci tangan’ dengan menyebut peristiwa berdarah tersebut sebagai konflik Angkatan Darat yang dilakukan para simpatisan PKI. Bahkan mereka menyebut peristiwa ini dengan istilah Gerakan 30 September, tanpa kata PKI dibelakangnya. Sedangkan pemberontakan Madiun disebut DN Aidit sebagai provokasi Hatta, provokasi Madiun, teror putih atau red drive proposal-nya kaum imprealis Amerika.
Selain itu, ada juga upaya-upaya penggalangan opini bahwa para kader dan simpatisan PKI adalah korban, bukan pelaku dari peristiwa sejarah yang berdarah-darah itu. Presiden Jokowi lalu didesak untuk melakukan rekonsiliasi dengan mengedepankan Hak Asasi Manusia, lewat tuntutan di antaranya adalah pemerintah harus “meminta maaf” terhadap orang-orang yang dianggap “korban” dalam operasi Angkatan Darat dan rakyat ketika menggulung habis para kader dan simpatisan Komunis tahun 1965.
Sungguh logika yang aneh; negara yang jadi korban, negara yang disuruh meminta maaf! (Artawijaya)