CIIA: “Tanya Warga Sipil Suriah yang Berhadapan dengan Terorisme Asad dan Negara Barat”
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Dunia kembali heboh. Serangan di Paris menjadi topik terpanas di semua media saat ini. Serangan yang mengakibatkan lebih dari 300 orang luka-luka dan lebih 128 orang tewas. Pelakunya disebutkan sebagian memegang paspor Mesir, Suriah, dan juga ada 4 pelaku lain teridentifikasi adalah warga negara Perancis sendiri.
“Jujur, semua orang tidak suka dengan ‘teror’, apalagi hidup dalam kubangan ‘teror’. Kita bisa tanya kepada penduduk sipil Afghanistan, Irak atau bahkan hari ini mereka yang berada di Suriah. Masyarakat sipil berhadapan dengan state terrorism dari rezim Basyar Asad ditambah teror oleh koalisi negara-negara Barat dengan mengirimkan pasukan, senjata dan drone-drone mereka,” kata Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya kepada redaksi, Ahad (15/11).
Kalau mau obyektif, sindir Harits, kalkulasi akibat state terrorism ini jauh lebih besar korban nyawa dan materialnya dari apa yang terjadi di Paris hari ini. Dan masyarakat sipil Barat, khususnya Paris-Perancis, kini merasakan bahwa apapun bentuk yang mereka sebut sebagai “teror” dan “terorisme”, itu adalah kontra dengan kecenderungan fitrah manusia.
Dan jika mau obyektif, ujar Harits, semua tidak bisa terima ‘terorisme’ yang mereka gaungkan itu, baik yang dilakukan individu, kelompok maupun negara, apalagi gabungan negara-negara atas nama apapun.
Harits menilai, serangan Paris bukanlah peristiwa independen, namun sebelumnya ada stimulan dan variabel pelengkapnya. Serangan yang mereka sebut “terorisme” itu masih konstan sebagai fenomena kompleks yang lahir dari beragam faktor yang juga kompleks.
Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.
Kemudian, lanjutnya, ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negara-negara kapitalis (AS) dan sekutunya, imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).
“Selain itu adalah adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan,” ungkapnya. (mus)