Pengamat: “Murni Persoalan Homeland Security Prancis, Serangan Paris bukan ISIS Pelakunya”
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Klaim Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) berada di balik serangkaian serangan yang mengguncang Paris, Prancis, pada Jumat (13/11) malam lalu waktu setempat, diragukan. Karena ISIS disangsikan bisa mudah masuk ke negara tersebut.
“ISIS tidak akan bisa bergerak semudah itu. Karena Prancis adalah negara yang sangat digdaya di Eropa,” ungkap pengamat hubungan internasional Zarmansyah seperti dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (16/11).
Menurut dosen London School of Public Relations ini, Presiden Prancis Francois Hollande yang juga menyebut ISIS sebagai dalang dalam serangan tersebut hanya untuk menenangkan massa. “Ini untuk bisa menjawab pertanyaan publik saja, untuk menenangkan,” ungkap master jebolan Paris-Sorbonne University ini.
Dalam amatannya, aksi tersebut murni persoalan homeland security Prancis (keamanan tanah air Prancis), yang berpengaruh kepada peran intelijen sebagai mata dan telinga. “Kalaupun ISIS, tidak akan bergerak tanpa adanya peluang dari dalam. Peluang dari dalam yang mentrigger,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, saat ini setidaknya ada empat persoalan di Prancis. Pertama, kesenjangan antara Paris Utara yang kaya dengan Paris Selatan yang miskin. “Wilayah miskin tidak jauh dari tempat kejadian, yang semakin hari semakin besar,” ucapnya.
Kedua, persaingan antara kelompok politik. Yaitu, ultrakanan, konservatif dan sosialis. Ketiga, polarisasi sikap masyarakat terkait independensi Uni Eropa terhadap Amerika Serikat.
Dia menambahkan, Prancis dan Jerman tidak mau Eropa berpihak kepada AS seperti waktu perang dingin. Karena itu Prancis negara yang paling terakhir menyatakan bergabung dalam aliansi pada perang Irak tahun 2003.
Keempat, persoalan bagaimana keterlibatan Prancis di Suriah. Sebagaimana diketahui Rusia sudah terlibat mem-back-up rezim Asad.
“Konfigurasi dari semua persoalan ini kemudian men-trigger homeland security Perancis menjadi mandul sehingga terjadi tragedi berdarah yang sangat memalukan. Baru kali ini terjadi seperti ini dalam sejarah Prancis,” tandas doktor jebolan Ankara University, Turki ini. (RMOL.CO)