JAKARTA (SALAM-ONLINE): Direktur Imparsial, Al A’raf, mengatakan seringkali isu terorisme diidentifikasikan kepada labelisasi agama. Dalam sejarah evolusi perkembangan, terorisme mengalami perkembangan pemaknaan dan gerakan.
“Polisi dan aparat lainnya harus benar dalam mendefinisikan makna teroris, jangan ada sentimen terhadap agama. Dalam evolusi perkembangan terorisme di dunia, terorisme tidak melulu motivasinya harus berdasarkan agama. Ada evolusi motivasi yang harus dipahami bahwa terorisme itu memiliki satu dimensi motivasi yang berbeda beda, itu yang perlu dipahami,” kata Al A’raf dalam diskusi ‘Quo Vadis Revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme’ yang digelar Institute for Development Research and Analysis (INDRA Institute), di Jakarta, Selasa (16/2).
Terorisme, menurutnya, dalam kajian ilmiah mengalami perdebatan yang tidak tuntas. Yang menarik adalah karena perdebatan tersebut kemudian menggambarkan terorisme memiliki wajah yang berbeda-beda, atau terorisme bisa dilakukan oleh negara itu sendiri.
“Maka merumuskan apa dan siapa terorisme sangat kompleks dan rumit. Terorisme tidak melulu mengatasnamakan agama, bisa merupakan faktor politik dan lainnya,” ungkap Al A’raf.
Al Araf juga mengkritisi wacana pencabutan kewarganegaraan bagi WNI yang terlibat maupun bergabung dengan kelompok militan di luar negeri. Menurutnya, wacana ini sangat absurd jika diterapkan di Indonesia yang menganut sistem kewarganegaraan tunggal.
“Di Indonesia sistem kewarganegaraannya tunggal, berbeda dengan negara lain yang membolehkan kewarganegaraan ganda. Implikasinya adalah jika dia dicabut maka orang tersebut menjadi stateless (tanpa negara dan kewarganegaraan),” tandas Al A’raf. Padahal dalam konvensi internasional, seseorang yang dicabut paspornya kembali menjadi tanggung jawab negara si pencabut paspor tersebut. Jadi, ada implikasinya bagi negara si pencabut paspor. (EZ/salam-online)