SALAM-ONLINE: Kabar membanjirnya pekerja asing Cina di Indonesia yang kembali menjadi perbincangan hangat dalam sepekan terakhir merupakan isu sensitif yang harus disikapi secara hati-hati oleh pemerintah dan tak boleh dianggap remeh.
“Kita punya problem sejarah terkait konflik etnis, baik pada masa kolonial maupun sesudah kemerdekaan. Itu sebabnya isu mengenai buruh asing asal Cina merupakan isu sensitif. Pemerintah tak boleh menafikan isu ini menjadi semata-mata soal angka atau ekonomi. Kita pun tak ingin NKRI dicederai lagi oleh konflik etnis atau agama,” tulis Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada akun Facebook pribadinya, Sabtu (16/7).
Menurutnya, ada tiga alasan kenapa soal tenaga kerja asing asal Cina ini tak boleh disepelekan pemerintah. Isu ini juga tak bisa lagi dianggap sebagai isu perburuhan semata, melainkan telah menjadi isu sosial, politik dan keamanan.
“Pertama, dalam sejarah, kita punya pengalaman konflik etnis yang tak menyenangkan dan menjadi luka kolektif bangsa. Kita tak ingin soal buruh asing ini mengusik kembali riwayat konflik dan luka lama itu,” katanya.
Kedua, isu buruh asing asal Cina ini muncul ketika perekonomian nasional kita tidak sedang baik-baik saja, dan angka ketimpangan ekonomi juga lagi buruk-buruknya. “Indeks kita mencapai 0,45. Ini angka terburuk sepanjang sejarah,” ujarnya.
Pemerintah, kata Fadli, mestinya sensitif mengenai hal ini. “Jangan sampai pemerintah dianggap telah merampas kesempatan kerja bagi rakyatnya sendiri,” Fadli mengingatkan.
“Ketiga, RRC saat ini sedang menjadi sorotan dunia, terutama dalam persoalan konflik Laut Cina Selatan. Kita perlu melihat isu buruh asal Cina ini dalam konteks geopolitik dan geoekonomi juga, agar jangan sampai mengorbankan kepentingan nasional,” tutur Fadli mengingatkan.
Menurutnya, pernyataan pemerintah cukup membingungkan dalam menyikapi persoalan ini. Menteri Tenaga Kerja menyatakan jumlah tenaga kerja asing cenderung turun. Padahal, terang Fadli, Indonesia sudah masuk ASEAN Economic Community, apalagi sejak Juni 2015 lalu pemerintah telah membebaskan visa kunjungan 169 negara ke Indonesia.
“Pasti ada persoalan di situ. Apalagi, seperti yang dibaca dari berbagai berita, munculnya imigran-imigran gelap makin sering terjadi di Indonesia. Jangan sampai turunnya angka tenaga kerja asing yang dicatat oleh Kementerian Tenaga Kerja merupakan efek dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” tegas Fadli.
Ia mengingatkan, tidak ada negara di dunia yang membuka pintu begitu lebar bagi tenaga kerja asing, kecuali kualifikasi mereka memang tak tersedia di dalam negeri. Di ASEAN saja, dalam MEA, paparnya, Indonesia punya perjanjian bahwa pekerja asing yang diperbolehkan hanya yang terkait dengan delapan profesi. Dan itu pun jabatannya spesifik dan telah ditentukan.
“Lha ini pemerintah tidak melakukan tindakan apapun atas ribuan buruh asal Cina yang kualifikasinya termasuk buruh kasar seperti buruh angkut, penggali tanah, tukang semen, atau tukang rumput,” jelasnya.
Sebagai investor, ujar Fadli, RRC hanyalah negara dengan investasi terbesar kesembilan saja di Indonesia. Begitu juga sebagai kreditor, kredit dari Cina hanya menempati urutan kelima, kalah dari Singapura, Jepang, AS dan Belanda.
“Tapi anehnya, jumlah tenaga kerja asing kita didominasi oleh Cina, hingga 23 persen. Dari sisi politik dagang, sudah jelas Cina lebih diuntungkan daripada kita. Kita menyediakan lapangan kerja bagi buruh asal Cina,” sesalnya.
Investasi asing secara konservatif, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, mestinya bisa membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Apalagi, menurut data BPS, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia semakin meningkat.
Fadli mengaku pernah membaca ada sebuah pabrik yang 90 persen tenaga kerjanya berasal dari Cina. Itu, menurutnya, adalah kebijakan yang tidak benar.
“Buruh kita, tenaga kerja Indonesia, butuh pekerjaan. Jangan rebut peluang ini dengan menguntungkan buruh asing,” pintanya. (EZ/salam-online)