JAKARTA (SALAM-ONLINE): Budayawan dan penyair senior yang juga sesepuh Pelajar Islam Indonesia (PII) Taufiq Ismail menceritakan bagaimana jahatnya makar yang direncanakan oleh aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa lalu.
Dalam peluncuran dan bedah buku “Ayat-ayat yang Disembelih” di Indonesia International Book Fair (IIBF), Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jumat (30/9) malam, tokoh yang sekarang berusia 81 tahun ini menceritakan bahwa ayahnya masuk dalam daftar orang-orang yang akan dibantai oleh PKI.
Suatu ketika di Pekalongan, Jawa Tengah, terjadi aksi besar-besaran Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) yang menentang keberadaan PKI. Aksi massa tersebut kemudian berujung pada penggerebekan salah satu tempat yang dijadikan markas partai berlambang palu arit tersebut. Di antara pelajar yang ikut dalam aksi itu tak lain adalah adik kandung Taufiq sendiri.
Alangkah terkejutnya sang adik, ketika ia dan para aktivis KAPPI menemukan sebuah dokumen yang berisi daftar orang-orang yang akan dibunuh. “Adik saya terkejut, lalu setelah pulang ke rumah ia mencari ayah saya. Dengan gemetar, adik saya memberitahukan bahwa ayah masuk dalam daftar para kiai yang akan dibunuh,” kenang Taufiq dengan mimik wajah sedih.
Dengan suara bergetar menahan sedih, penulis buku kumpulan puisi “Tirani dan Benteng” itu menceritakan bagaimana suasana pada saat itu. “Setelah dicek daftar tersebut, di urutan pertama terdapat nama Kiai Haji Abdul Ghaffar Ismail, yang tak lain adalah ayah saya,” ujarnya.
Ayah Taufiq, KH Abdul Ghaffar Ismail, adalah ulama dan aktivis pergerakan Islam yang sangat dikenal di kota Pekalongan. Ia berasal dari Sumatera Barat, kemudian hijrah ke kota tersebut. Puluhan tahun berdakwah di kota batik, ia memiliki jamaah yang sangat banyak. Setiap pengajiannya selalu dipenuhi hadirin.
“Ayah saya penentang keras PKI, makanya menjadi target mereka,” kata penyair yang sudah malang melintang di kancah internasional ini.
Taufiq mengatakan, dalam rangka memutarbalikkan fakta, PKI tak segan-segan untuk melakukan propaganda dusta terkait kekejaman mereka. Padahal, menurutnya, fakta-fakta terkait kebiadaban kelompok merah ini sangat terang benderang. Karena itu, saat Taufiq memaparkan data lewat puisi yang ia bacakan terkait kebiadaban komunis internasional dalam suatu acara di Hotel Arya Duta, Jakarta, yang juga dihadiri para anak keturunanan PKI, mereka membuat gaduh.
“Mereka membuat gaduh, kemudian membuat cerita dusta bahwa saya diusir dari acara itu. Padahal yang benar saya pulang karena sudah sore dan lelah, bukan diusir,” terang Taufiq.
Sebagai orang yang mengalami langsung bagaimana sepak terjang PKI, Taufiq berharap para generasi muda untuk waspada dan tidak melupakan sejarah tentang kebiadaban mereka. (AW/salam-online)