MEDAN (SALAM-ONLINE): Pernyataan Ahok yang diduga menghina Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 dalam idato sambutannya di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu berbuntut panjang.
Tak hanya umat Islam di Provinsi DKI Jakarta saja yang merasa tersakiti. Hal ini juga dirasakan kaum Muslimin di seluruh Indonesia.
Zikri Akbar, Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD-IMM) Sumatera Utara, merasakan hal yang sama.
“Sakit hati umat Islam se Indonesia, tak hanya di Jakarta saja (yang merasa tersakiti) atas pernyataan Ahok ini,” ungkap Zikri kepada redaksi, Jumat (14/10).
Menurutnya, Ahok secara terang-terangan dan gamblang menyatakan bahwa pesan Al-Qur’an dijadikan sebagai alat penipuan terhadap umat dalam konstalasi politik yang cukup tinggi atmosfernya.
Unjuk rasa umat Islam tak hanya terjadi di Jakarta saja. Pada Jumat (14/10) kemarin berbagai wilayah di Indonesia juga menggelar unjuk rasa yang sama.
Di Medan, sebagaimana daerah lain seperti juga Bandung, Makassar, Bengkulu, dan lainnya, umat Islam dari berbagai Ormas, elemen masyarakat dan seluruh Organisasi Mahasiswa Islam yang terhimpun dalam satu barisan dan tujuan menyuarakan serta menuntut keadilan atas sikap Ahok yang dinilai menyakiti perasaan kaum Muslimin atas pernyataannya.
Zikri Akbar mengatakan, aksi unjuk rasa ini sesungguhnya adalah imbas dari sebuah pengabaian dari aparat negara terhadap tuntutan yang dilayangkan oleh umat Islam.
“Tuntutan yang dilayangkan oleh umat Islam ini seakan dianggap angin lalu saja oleh aparat berwajib. Proses yang lama dan seakan tak ada respon, maka mereka (umat Islam) turun ke lapangan untuk menuntut hak keadilan yang sejatinya memiliki hak setara di depan hukum,” kata Zikri.
Mahasiswa Pasca Sarjana jurusan Komunikasi Islam UIN Sumatera Utara ini menilai negara telah gagal menjadikan masyarakat yang harmoni dan rukun dalam kemajemukan yang ada. Kegagalan ini dibuktikan dengan tidak adanya sikap dari Presiden Republik Indonesia untuk merespon tuntutan yang disuarakan oleh umat Islam.
“Seandainya saja presiden mampu menjadi mediator yang menengahi serta menanggapi kisruh yang sedang terjadi, sakit hati umat Islam pasti tak sebesar ini,” terangnya.
Zikri berargumen bahwa berbagai polemik kebangsaan atas dasar penistaan terhadap Islam kerap kali terjadi. Tetapi negara seolah diam melihat permasalahan yang tak kunjung usai ini. Pemerintah dengan berbagai perangkatnya tidak bekerja secara maksimal untuk menjadikan negara yang aman, damai dan rukun dalam perbedaan.
“Pemerintah harus memberi pelayanan yang maksimal terhadap rakyat, mampu menjembatani dan memberikan solusi terhadap perbedaan,” harapnya. (Faisal Fariz)