SALAM-ONLINE: Pahlawan Nasional, seorang pemikir Islam, Mantan Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Mohammad Natsir, pernah menulis jawaban terhadap pertanyaan kenapa agama mesti dibawa ke dalam politik, atau sebaliknya.
Ada pula pertanyaan yang Mohammad Natsir dapatkan perihal bagaimana bisa satu partai politik didasarkan kepada agama?
Mohammad Natsir menganggap pertanyaan tersebut seringkali timbul lantaran cara memahami agama yang tak sempurna. Agama diartikan hanya sebatas sistem peribadatan antara makhluk dan Tuhan. Atau bisa dikatakan, agama hanyalah sebatas hubungan makhluk dan Tuhan yang berbentuk ritual-ritual yang telah ditetapkan.
Definisi itu mungkin tepat bagi agama selain dari Islam. Atau jika kita menoleh ke sejarah kegerejaan yang runtuh pada abad 14 lantaran kekuasaan gereja dianggap oleh orang Eropa sebagai dominasi buruk yang menghambat perkembangan alam dan zaman, dimana kemudian pada abad itu disebut sebagai abad Renaisans (Inggris: Renaissance), sangatlah cocok jika dikatakan agama tak ikut campur urusan politik.
Bagi M. Natsir, Islam yang notabene sebagai agama wahyu dan bukan timbul dari kebudayaan, adalah satu falsafah hidup, satu levensfilosofie (filsafat hidup), satu ideologi, satu sistem perikehidupan, untuk satu kemenangan manusia sekarang dan di akhirat nanti.
Islam bukan hanya mengatur soal shalat dan wudhu belaka, lebih dari itu, urusan ekonomi, sosial, politik dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya Islam mengatur. Dengan demikian, dalam kehidupan tak ada yang tersisa kecuali Islam ada di dalamnya.
Meminjam perkataan seorang orientalis Mesir HAR Gibbs, M. Natsir menulis dalam buku fenomenalnya, Capita Selecta, “Islam itu lebih dari sistem peribadatan. Ia adalah satu peradaban yang lengkap dan sempurna.”
Buya Natsir, begitu pula orang menyebutnya, seperti ingin menyampaikan bahwa seorang tak beriman saja mengakui bahwa Islam adalah agama sempurna, yang di dalamnya tersimpan nilai-nilai universal yang baik dan sesuai dengan alam.
Islam sebagai ideology, menurut Buya Natsir, sudah semestinya menjadi pedoman bagi setiap Muslim.
Sebagaimana ditulis Natsir dalam Capita Selecta, “Ideologi ini menjadi pedoman bagi kita sebagai Muslim, dan buat itu kita hidup dan buat itu kita mati.”
Oleh karenanya, M. Natsir menegaskan dalam pemaparannya bahwa seorang Muslim tidak dapat melepaskan diri dari politik. Atau bahkan sampai separah menganggap bahwa Islam dan politik adalah hal yang dikotomis. Dan sebagai seorang yang berpolitik, seorang Muslim tak dapat melepaskan diri dari ideologi Islam.
“Bagi kita, menegakkan Islam itu tak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara, menegakkan kemerdekaan. Islam dan penjajahan adalah paradox.
“Satu pertentangan yang tak ada persesuaian di dalamnya,” tulis Buya Natsir. (MN Malisye/salam-online)