JAKARTA (SALAM-ONLINE): Sejumlah wartawan Australia tercengang mendengar jawaban Jenderal Abdul Haris Nasution atas pertanyaan mereka, “Siapa sosok yang Anda kagumi di dunia ini?” Jawaban Jenderal Nasution, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.”
Abdul Haris Nasution, yang lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918, itu memang dikenal sebagai jenderal yang lekat dengan Islam dan taat beribadah, cocok dengan atasannya di era perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Selain itu, sebagai ahli perang gerilya, Pak Nas, demikian sapaan akrabnya, dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya dan kemudian berseberangan dengan Soeharto) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat eksesif. Selain konseptor dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya.
Selain sebagai tokoh militer, yang begitu banyak merintis dan memberikan kontribusi bagi TNI, masih banyak contoh/keteladanan yang dapat diambil dalam keseharian Pak Nas.
Jalan Teuku Umar Nomor 40, Menteng, Jakarta Pusat menjadi saksi bisu atas peristiwa 52 tahun lalu terkait percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI terhadap Jenderal Besar AH Nasution.
“Museum Jenderal Besar AH Nasution” terpampang kokoh ketika memasuki rumah mantan Wakil Panglima Jenderal Besar Sudirman itu. Di balik pagar berdiri patung Jenderal Nasution dalam posisi kedua tangan di belakang pinggang, posisi istirahat. Dua meriam mengapit patung setinggi dua meter itu.
Di sisi kiri rumah utama, ada garasi beratap genteng dan beberapa bangunan kecil mengelilinginya. Tempat ini dulunya ditinggali Lettu Pierre Tendean, salah satu ajudan Jenderal AH Nasution. Pierre Tendean dibawa dan diculik oleh pasukan Tjakrabirawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur hingga gugur bersama enam jenderal lainnya. Pierre dikira Jenderal Nasution oleh para penculiknya.
“Ya, dulu Lettu Pierre Tendean tinggal di bangunan ini, ia diculik mengaku sebagai AH Nasution, lalu dibawa ke Lubang Buaya untuk dibunuh di sana,” terang Sertu Royen Suryanto, petugas administrasi di museum Jenderal AH Nasution kepada Salam-Online, Sabtu (30/9).
Tata ruang dan koleksi Museum Nasution terdiri dari sembilan ruang. Pertama adalah ruang tamu. Kedua, ruang kerja Pak Nas. Setelah memasuki ruang tamu, pengunjung harus melintasi ruang kerja agar bisa melihat ruangan lainnya.
“Belok kiri dari ruang kerja, kita akan menemukan ruang ketiga. Yakni, Ruang Kuning. Dinamakan ruang kuning karena Pak Nas mendesain ruangan ini dengan dominasi warna kuning, baik cat, tembok, karpet, dan gordennya. Di sinilah Pak Nas menerima tamu-tamunya baik dari dalam dan luar negeri,” tutur Royen.
Keluar dari Ruang Kuning terdapat sebuah lorong. Lebarnya sekitar 1 meter. Di sebelah kanan terdapat sebuah patung ilustrasi pasukan Tjakrabirawa yang ingin membunuh Jenderal AH Nasution.
Tak jauh dari patung tersebut, ada pintu menuju ruang ketiga, yakni Ruang Tidur. Posisi ruang tidur Pak Nas tepat di sebelah kanan. Ruang ini merupakan saksi bisu kekejaman G30S/PKI di bawah komando pasukan Tjakrabirawa yang berusaha menculik dan membunuh mantann Menteri Koordinator Pertahanan itu.
“Di sini kita dapat melihat, bekas tembakan pasukan Tjakrabirawa yang mengenai pintu, tembok serta meja di dalam kamar. Juga retak pada bagian pintu akibat ditendang oleh pasukan Tjakrabirawa. Di dalam kamar tersebut juga ditampilkan beberapa koleksi pakaian dan alat kesehatan yang digunakan Jenderal AH Nasution,” jelas Royen.
Melewati Ruang Tidur, ada diorama Jenderal AH Nasution ketika menyelamatkan diri dari penculikan pasukan Tjakrabirawa. AH Nasution melompati tembok kediaman Duta Besar Irak, disaksikan sang istri dan anaknya, Ade Irma Suryani, yang berlumuran darah terkena tembakan laras panjang pasukan Tjakrabirawa. Diorama berada di ruangan seragam Angkatan Darat atau ruang Gamad.
Di seberang kamar Jenderal AH Nasution merupakan ruang keempat. Ruangan ini dinamakan Ruang Senjata koleksi Pak Nas. Awalnya ruang ini adalah ruang tidur putri sulung Pak Nas, Hedrianti Sahara Nasution.
“Senjata yang paling depan adalah senjata yang digunakan saat menembak Ade Irma Suryani Nasution. Orang yang menembaknya adalah Kopral Dua (Kopda) Hargiono, anggota Pasukan Tjakrabirawa. Senjata ini didapatkan setelah RPKAD merebutnya,” ungkap Royen sambil menunjuk senjata di dalam lemari.
RPKAD atau Resimen Para Komando Angkatan Darat adalah cikal-bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD.
Royen mengatakan, Abdul Haris Nasution merupakan tokoh militer dan politik Indonesia. Penyandang gelar jenderal besar bintang lima ini merupakan penulis sejarah militer sekaligus sebagai pemikir di bidang tersebut.
“Konsep teritorial dan dwifungsi ABRI lahir dari pemikirannya menyikapi goncangan-goncangan politik yang kerap terjadi di era Orde Lama. Konsep dwifungsi dipertahankan di era Soeharto,” kata Royen.
Konsep itu, terangnya, mulai digugat ketika reformasi bergulir. Dwifungsi akhirnya dihapuskan. Tentara pun kembali ke barak, tak lagi memegang jabatan-jabatan sipil.
“Berdasarkan pengalamannya semasa revolusi fisik mempertahankan Republik dari Belanda yang ingin kembali menjajah, Nasution menelurkan konsep perang gerilya. Konsep ini dipakai tentara Vietkong menghadapi tentara Amerika selama perang Vietnam. Taktik ini terbukti ampuh. Banyak jatuh korban dari tentara Amerika,” ungkapnya.
Setelah purnawirawan, ujar Royen, AH Nasution mengisi waktunya dengan kegiatan menulis sejarah, khususnya TNI. Dunia tulis menulis sudah didalami Nasution sejak 1948.
“Di sela-sela kesibukannya memimpin TNI, ia masih sempat menulis beberapa buku. Di antara karya-karya Nasution yang terpenting adalah ‘Pokok-pokok Gerilya’, ‘Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia’, ‘Tentara Nasional Indonesia’, ‘Kekaryaan ABRI’ dan ‘Sekitar Perang Kemerdekaan’ (11 jilid). Ia juga menulis memoar dengan judul ‘Memenuhi Panggilan Tugas’ (7 jilid).
Sedikit posisi yang pernah dipegang oleh Jenderal Nasution di era Indonesia baru merdeka. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Panglima Besar Jenderal Sudirman). Sebulan kemudian ia ditunjuk menjadi Kepala staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI.
Di pengujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat jenderal besar bintang Lima. Ia tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dalam usia 81 tahun dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Di era awal-awal Orde Baru, 1966, Jenderal Nasution menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pada Sidang ke-V tahun 1968, MPRS pimpinan Jenderal Nasution mengesahkan dan melantik Soeharto sebagai Presiden ke-2 RI.
“Di bidang pendidikan, Jenderal Nasution aktif sebagai Ketua Yayasan Perguruan Cikini. Meninggal di Jakarta, 6 September 2000 dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta,” tutup Royen. (EZ/Salam-Online)