50 Tahun dalam Penjajahan ‘Israel’, Amnesty International: “Palestina Seperti Penjara”
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Palestina hari ini masih menjadi salah satu bukti ketidakmampuan dunia internasional dalam merealisasikan slogan kebebasan hak asasi manusia (HAM) yang begitu nyaring digaungkan. Sejak dikeluarkannya dokumen Balfour pada 1917 hingga seabad kemudian, negara ini masih berada dalam penjajahan Zionis “Israel”.
Telah ada sejumlah upaya memperjuangkan kemerdekaan Palestina baik dari komunitas internasional, sipil, NGO, maupun negara-negara yang bersimpati. Alih-alih meraih kemerdekaan, justru penjajahan di bumi Palestina semakin meluas.
Sebagai salah satu organisasi pejuang HAM, Amnesty International (AI) berupaya memberi penyadaran kepada masyarakat mengenai penjajahan yang masih berlangsung hingga saat ini. Bertempat di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, AI bekerjasama dengan Sekolah Kajian Ilmu Stratejik dan Global Universitas Indonesia menggelar seminar bertajuk “International 50th Year of Occupied Palestinian Territories” pada Rabu (1/11/2107).
Pembahasan seminar berfokus pada sejumlah pendudukan ilegal “Israel” di sejumlah wilayah seperti di perbatasan Gaza, Tepi Barat, Hebron, Yerusalem Timur, dan wilayah-wilayah lainnya. Peneliti isu Palestina dari AI, Lina Fattom, menguraikan serangkaian pelanggaran tersistematis yang dilakukan pihak “Israel” untuk mengusir rakyat Palestina dari tanahya sendiri.
“Salah satu bentuk pelanggaran internasional adalah penjajahan atau pendudukan. Ini (pendudukan) meluas hingga ke Tepi Barat. Kita harus memahami dahulu arti ilegal dan legal. Itu tertulis dalam hukum-hukum internasional. di antaranya berdasarkan Konvensi Jenewa pasal 49 (6) dan pasal 49 (1),” jelas Lina.
Di Tepi Barat, lanjut Lina, semua aspek ekonomi hampir sepenuhnya dikuasai “Israel”. Itulah sebab mengapa banyak diberitakan bahwa rakyat Palestina mengalami kesulitan untuk memperoleh air, listrik, dan sumber daya penunjang kehidupan sehari-hari lainnya. Bahkan tidak hanya itu, sejumlah hak-hak rakyat Palestina untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak, keamanan, dan makanan juga dipersulit dengan menerapkan sistem administrasi yang sangat ketat.
Rakyat Palestina, menurut Lina, juga tidak memiliki hak untuk berkumpul bersama keluarga secara bebas. Sebagai salah satu contoh, apabila ada delapan orang anggota keluarga yang berkumpul membicarakan politik dan hanya sekadar mengungkapkan rasa frustrasi mereka akibat penjajahan, maka berdasarkan peraturan militer Zionis Israel, kedelapan orang tersebut dianggap melakukan pelanggaran dan akan ditangkap.
“Mereka (‘Israel’) tidak memberi izin untuk membangun rumah, sekolah, dan lainnya. Segala sesuatunya harus mendapatkan izin dari pihak ‘Israel’. Mereka tidak dapat memperoleh makanan, masuk sekolah, perawatan medis kecuali harus mendapatkan, persetujuan dan perizinan ‘Israel’ terlebih dahhulu. Ini betul-betul seperti penjara,” ungkap Lina.
Lina melihat, “Israel” mencoba menciptakan suasana menyulitkan sehingga memaksa rakyat Palestina mau tidak mau meninggalkan wilayah tempat tinggalnya dan berpindah ke wilayah yang sudah padat penduduk.
Kuasa Usaha Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia Taher Ibrahim Abdallah Hamad menceritakan pengekangan yang digencarkan pihak “Israel” terhadap rakyat Palestina.
Banyak pula pemberitaan dan fakta yang membuktikan bahwa “Israel” melakukan kejahatan perang dengan menembak dan menjatuhkan bom ke sekolah-sekolah, mobil tim medis dan rumah sakit. Selain itu, ada ribuan warga Palestina yang hingga saat ini menjadi tahanan “Israel”.
“Kalian tahu, di Gaza, anak-anak tidak bisa sekolah karena ‘Israel’ membombardir sekolah, juga rumah sakit. Tidak ada infrastruktur di Gaza. Pendidikan, kesehatan, listrik, pertanian dan pariwisata mereka sabotase. Apa yang juga kita butuhkan adalah untuk membebaskan tujuh ribu orang yang ditahan,” ungkap Abdallah.
Mantan rapporteur utusan PBB untuk Palestina Profesor Makarim Wibisono juga menyampaikan hal senada. Untuk membatasi ruang gerak rakyat Palestina, pihak “Israel” intens melakukan pemeriksaan di setiap checkpoint yang mereka dirikan. Hal itu menurutnya merupakan upaya tersistematis “Israel” guna membuat rakyat Palestina frustrasi kemudian meninggalkan rumah dan tempat tinggal mereka. Dalam satu wilayah, ada sekitar 100 checkpoint yang didirikan “Israel” berikut tentara dan perangkat-perangkatnya.
“Pernah ada seorang ibu-ibu hamil menolak diperiksa di salah satu checkpoint. Karena penolakannya, ia ditembak mati oleh tentara ‘Israel’,” tutur Makarim menceritakan.
Lebih lanjut, ia menyampaikan solusinya sebagai salah satu upaya memperjuangkan HAM rakyat Palestina. “Lebih baik kita fokus pada hak-hak rakyat Palestina yang hidup di bawah okupasi ‘Israel’. Berdasarkan international law, penduduk itu harus dilindungi tentara yang menduduki wiayah jajahannya,” jelasnya. (al-Fath/Salam-Online)