Palestina Kian Terabaikan, Saatnya Indonesia Mengambil Kekosongan Peran Negara-negara Arab
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Dirjen Kementerian Luar Negeri RI, Desra Percaya, melihat berbagai pendekatan politik yang ditempuh pihak-pihak terkait belum juga membawa permasalahan Palestina ke titik penyelesaian.
Ia mengkhawatirkan, rangkaian perjanjian politik yang sejatinya selalu berujung deadlock itu akan semakin menghilangkan harapan generasi muda Palestina akan kemerdekaan tanah air yang mereka cintai itu. Salah satu contohnya adalah adanya keinginan sejumlah anak muda Palestina yang menginginkan perdamaian dengan mendukung solusi satu negara, yaitu “negara Israel”.
“Ada sense of frustration di antara anak muda Palestina. Karena ketika mereka ingin bertemu keluarganya saja harus berurusan dengan ‘Israel’ sehingga ada pikiran untuk berjuang dalam satu negara demokratik ‘Israel’,” ungkap Desra dalam Seminar Internasional bertajuk ’50th Year of Occupied Palestinian Territory’ di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2017) .
Ia melihat ada urgensi tingkat tinggi yang mengharuskan segera dihentikannya penjajahan di Palestina. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui jalur politik dan mekanisme internasional. Dunia Islam dan internasional perlu memberi tekanan yang kuat untuk menyeret penjahat perang “Israel” melalui mekanisme hukum internasional.
“Kalau mereka dibawa ke ICC (Mahkamah Hukum Internasional) mereka itu takut. Netanyahu takut. Militer ‘Israel’ bisa dibawa ke sana,” jelasnya.
Desra sangat menyayangkan sikap negara-negara Arab di Timur Tengah yang saat ini mulai tidak lagi menjadikan isu penjajahan di tanah Palestina sebagai kebijakan luar negerinya. Di saat seperti ini, Indonesia menurutnya sangat mampu untuk mengambil kekosongan peran politik yang sebelumnya dimainkan oleh negara-negara Arab. Di antaranya adalah mensponsori lebih banyak negara untuk mengakui Palestina sebagai entitas yang berdaulat.
“Saya berani mengatakan kita lebih Arab dari negara-negara Timur Tengah. Kita tidak akan membuka hubungan diplomatik sebelum Palestina merdeka. Amanah konstitusi kita jelas (UUD 1945). Lobi negara-negara yang belum mengakui Palestina harus kita tingkatkan,” ujar Desra.
Anggota Komisi I DPR RI yang membidangi urusan luar negeri, Dr Sukamta, juga berpendapat bahwa ada suatu preseden baru di dunia Arab yang membuktikan bahwa dukungan negara-negara tersebut terhadap Palestina justru semakin menurun. Hal itu semakin diperparah dengan berbagai krisis di tengah-tengah negara tersebut, seperti krisis GCC (negara-negara Teluk), konflik Yaman dan Suriah.
“Ada preseden baru di antara GCC, di mana negaranya terkenal yang paling konservatif (keislamannya), namun lebih dekat kepada ‘Israel’ ketimbang Palestina. Ini real!” ucap politisi PKS itu.
Lebih jauh, ia menjelaskan, rekonsiliasi yang ditempuh dua faksi terbesar di Palestina, yakni Hamas dan Fatah merupakan suatu langkah yang sangat positif dalam konteks perjuangan kemerdekaan Palestina. Indonesia, sebagai negara yang aktif mengangkat isu Palestina di forum-forum internasional perlu mendorong negara-negara Islam agar mendukung rekonsiliasi Hamas-Fatah.
Dengan menguatkan dukungan politik atas terbangunnya rekonsiliasi ini, setidaknya hal itu akan menyulitkan pihak penjajah “Israel” untuk merusak dan menggagalkan buah positif dari penyatuan visi Hamas-Fatah.
“Israel sudah pasti lebih menginginkan perpecahan di tubuh Palestina ketimbang soliditas. Karena hal itu akan melanggengkan kekuasaan Tel Aviv. Bahkan saya meyakini upaya untuk menggagalkan rekonsiliasi itu lebih besar daripada upaya untuk mempertahankannya. Oleh karena itu, Indonesia melalui OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) harus terus mendukung rekonsiliasi ini,” ujar Sukamta.
Direktur Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Muhammad Luthfi menyampaikan pandangannya mengenai peran yang bisa dimainkan Indonesia terkait isu Palestina. Menurutnya, di tengah-tengah konflik yang melanda negara-negara Arab, Indonesia harus tanggap dan melihat kekosongan tersebut sebagai peluang untuk mulai menunjukkan dirinya di mata dunia sebagai negara yang aktif memperjuangkan kemerdekaan suatu bangsa.
“Pemimpin negara-negara Arab tidak ada yang lebih kuat dari Indonesia. Kita lihat OKI sudah tidak menggaungkan isu ini. Apakah sudah waktunya? Apakah kita sudah harus berbicara tentang dunia ini? Ya sudah waktunya. Karena kita sudah berpengalaman (mengatasi konflik) di Kamboja, Filipina, dan sejumlah konflik di dalam negeri seperti di Ambon, Poso, dan Aceh,” jelas Luthfi. (al-Fath/Salam-Online)