JAKARTA (SALAM-ONLINE): Hadramaut Center bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Agama dan Menara Center menggelar konferensi internasional bertajuk ‘the Dynamics of Hadhramis in Indonesia’ selama dua hari, yakni pada Selasa dan Rabu (22-23/11/2017) di Royal Kuningan Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan.
Sejumlah cendekiawan dan peneliti dari dalam dan luar negeri turut menjadi pembicara utama membahas seputar diaspora Hadrami—sebutan bagi keturunan Yaman—yang menetap di Indonesia sejak masa silam.
Profesor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, dalam pemaparannya menyampaikan, keturunan-keturunan Arab Yaman di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup kuat di kalangan masyarakat, khususnya dalam bidang keagamaan. Para Hadrami tersebut bahkan menjadi pimpinan dari perkumpulan atau organisasi-organisasi yang diikuti oleh banyak kaum Muslimin di Indonesia yang justru bukan berasal dari keturunan Arab atau dengan kata lain orang pribumi.
Ketika menyampaikan hal itu, ia merujuk ke sejumlah ormas seperti Al-Irsyad, Jamiatul Khair, hingga ormas pimpinan Habib Rizieq Syihab Front Pembela Islam (FPI) yang ia labeli sebagai Muslim populism—karena eksistensi FPI akhir-akhir ini dalam isu-isu politik. Selain itu, ia juga menyebut bahwa kalangan Hadrami mendapat pengikut dari kegiatan-kegiatan keagamaan berbentuk majelis dzikir seperti Majelis Rasulullah yang dipimpin oleh Habib Munzir al-Musawa (sudah meninggal) dan kini digantikan oleh saudara kandungnya, Habib Nabil al-Musawa.
Menurut Azyumardi, majelis dzikir ini dalam praktiknya mengadopsi tasawwuf gaya baru, di mana nyanyian-nyanyian berupa shalawat yang diiringi instrumen musik tradisional seperti rebana dijadikan sebagai bagian dari ritual ibadah. Hal ini juga ia pandang sebagai bagian dari akulturasi nilai-nilai kultural dari Yaman dengan ritual ibadah Islam yang saat ini banyak dipraktikkan masyarakat Indonesia.
Selain dari sisi kultural, guru besar UIN Syarif Hidayatullah ini juga menyoroti bagaimana kalangan Hadrami bersikap dalam permasalahan Sunni dan Syiah. Untuk sebagian Hadrami yang mengambil sikap menentang Syiah, ia sebut sebagai ‘pro-Wahabi’. Sebaliknya, yang mendukung Syiah ia kategorikan sebagai Hadrami pro-Shi’i (Syiah).
Pandangannya ini pun disambut oleh pembicara kunci berikutnya, Prof Syed Farid al-Attas dari National University of Singapore. Dalam pemaparannya itu, Farid membahas secara spesifik bagaimana kalangan Syiah menjadi permasalahan besar di tengah-tengah kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), khususnya yang berada di Malaysia dan Indonesia.
Menurutnya, kalangan Hadrami, atau yang ia sebut sebagai Baalwi, perlu mengambil peran memediasi tensi konflik antara Sunni dengan Syiah, sehingga kalangan yang dikenal sebagai pemuja Khalifah Ali bin Abi Thalib ini perlahan dapat diterima di tengah-tengah umat Islam. Dari apa yang disampaikan, juga dapat ditangkap jelas bahwa Farid berupaya mendorong kaum Muslimin, khususnya Sunni agar memandang Syiah sebagai bagian dari Umat Islam.
Acara ini kemudian berlanjut dengan sejumlah diskusi panel yang diisi oleh sejumlah pembicara dari dalam dan luar negeri, di antaranya Huub de Jonge dari Belanda, Martin Slama dari Austria, Mark Woodward dari Amerika Serikat, serta pemateri lainnya. Topik yang diangkat meliputi isu diaspora, perkawinan, sosial, kultur, serta peran Hadrami dalam politik di Indonesia dan Asia Tenggara. (al-Fath/Salam-Online)