Cucu Hassan Al Banna, Prof Tariq Ramadan: Cendekiawan Muslim Eropa yang Dizalimi
SALAM-ONLINE: Setelah dipuji sebagai pembaru Islam oleh media Barat, Profesor Universitas Oxford, Tariq Ramadan, saat ini terpaksa menerima keadaan. Karirnya harus terhenti karena otoritas Prancis menangkapnya atas tuduhan pelecehan seksual.
Tuduhan terakhir, sejauh ini adalah tuduhan keempat yang diterimanya, dilakukan oleh seorang wanita di Washington, DC pada 11 Maret lalu.
Para pendukung Ramadan pun menolak keras tuduhan tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari usaha persekongkolan bersama untuk mencemarkan nama baik ilmuwan tersebut, sebagaimana digencarkan melalui kampanye #MeToo (saya juga) di media sosial. Ini adalah fakta tentang Ramadan dan Fitnah #MeToo yang diterimanya.
Lahir dan dibesarkan di Swiss, Tariq Ramadan kemudian menjadi salah satu ilmuwan Islam sekaligus cendekiawan Muslim yang paling berpengaruh di dunia, menurut majalah TIME dan majalah Foreign Policy.
Berawal di Swiss: Dikutip dari Wikipedia, Tariq Ramadan yang lahir di Kota Jenewa, Swiss, pada 26 Agustus 1962, adalah seorang filsuf, penulis dan akademisi. Dia adalah cucu dari Imam As-Syahid Hassan Al Banna, seorang Pembaru (Mujaddid) dan Pendiri Ikhwanul Muslimin (1928), gerakan Islam yang punya pengaruh paling luas di dunia Islam.
Dia adalah putra Prof Said Ramadan, PhD dan Wafa Al Banna, yang merupakan putri sulung Hassan Al Banna. Ayahnya, Said Ramadan, adalah seorang tokoh terkemuka dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan diasingkan oleh Presiden Gamal Abdul Nasser, dari Mesir ke Swiss, negara tempat Tariq dilahirkan.
Tariq adalah profesor di Fakultas Teologi dan St Anthony College, Universitas Oxford. Dia juga merupakan Profesor Tamu di Fakultas Studi Islam, Universitas Qatar, juga di Universitas Mundiapolis, Maroko, dan Universitas Perlis, Malaysia. Ramadan juga pernah menjadi peneliti senior di Univeritas Doshisha, Jepang. Dia adalah direktur Pusat Penelitian Legislasi dan Etika Islam (CILE) yang bermarkas di Doha. Selain itu dia adalah anggota Tim Penasihat Kantor Urusan Luar negeri, bagian Agama dan Kepercayaan. Dia dipilih oleh majalah TIME pada 2004 sebagai satu dari 100 Orang Paling Berpengaruh di dunia dan oleh majalah Foreign Policy sebagai satu dari 100 Pemikir Dunia.
Dengan gelar MA dalam filsafat dan sastra Prancis, kemudian PhD dalam studi bahasa Arab dan Islam dari Universitas Jenewa, Ramadan ingin menjembatani kesenjangan antara Timur dan Barat.
Oxford: Awal September 2009, Ramadan diangkat sebagai Profesor Studi Islam Kontemporer di Fakultas Studi Oriental Universitas Oxford.
Ramadan mendorong “Islam Eropa” yang bebas dari pengaruh asing. Dia juga mempromosikan integrasi sosial.
Aktivisme: “Saya akan mengatakan apa yang saya dorong bukan untuk mereformasi Islam. Islam tidak memerlukan reformasi, yang saya dorong adalah untuk mereformasi pemikiran Muslim,” katanya kepada Aljazeera.
Sebagai direktur Pusat Penelitian Legislasi dan Etika Islam di Doha, Qatar, dia juga meminta pemerintah untuk menerapkan kebijakan kesetaraan sosial dan mengadopsi undang-undang anti-diskriminasi. Dia yakin kebijakan semacam itu memiliki kekuatan untuk mencegah “ekstremisme” yang berakar pada orang-orang yang terpinggirkan.
Pencapaian: Pencapaiannya dalam bidang keilmuan dan pengaruhnya di dunia, seperti disebut di atas, membuat majalah TIME mengakuinya sebagai salah satu dari tujuh inovator abad ke-21 pada tahun 2000, juga salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia pada 2004. Dan, majalah Foreign Policy pun memilihnya sebagai satu dari 100 Pemikir Dunia.
Sekularisme
Ramadan menilai sekularisme bukanlah solusi untuk masalah yang dihadapi Timur Tengah. Ia berpendapat bahwa mayoritas diktator di wilayah tersebut sebagai seorang sekuler.
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Aljazeera, Mehdi Haza, Ramadan memperingatkan untuk melawan upaya idealisasi sekularisme.
“Sekuler di Timur Tengah tidak ada hubungannya dengan kaum sekuler di Barat, semua sekuleris di Timur Tengah adalah diktator,” kata Ramadan.
“Orang terus mengulangi pertanyaan, kapan Anda akan diintegrasikan? Saya katakan, mohon maaf, masalahnya adalah pikiran Anda tidak mengintegrasikan saya, saya sudah di sini, di rumah … Kesuksesan integrasi adalah berhenti membicarakan integrasi.”
Mempunyai Masalah dengan Pihak Berwenang
Ramadan telah menjadi kritikus vokal atas kelompok yang menargetkan warga sipil, namun dia tidak bisa mencegah terjadinya pertengkaran dengan pemerintah Barat.
Prancis: Pada 1995, untuk sementara dia dilarang memasuki Prancis karena tuduhan memiliki hubungan dengan kelompok bersenjata Aljazair. Kendati demikian, semua tuduhan tidak ada yang pernah terbukti.
“Prancis adalah satu-satunya negara di dunia di mana saya tidak dapat menginjakkan kaki di sebuah universitas (untuk memberikan ceramah),” ujar Ramadan saat mengisi ceramah yang diadakan di sebuah aula konferensi di kota Nice, Prancis.
Terkait “serangan” atas Charlie Hebdo, dia mengatakan, “Kami membutuhkan orang-orang di seluruh dunia untuk memberikan nilai yang sama bagi kehidupan manusia … Orang-orang dibunuh dengan kekerasan yang sama oleh ekstremis di Suriah dan Irak, seolah-olah ini normal? Dua belas (orang) di Prancis, (dan) ini adalah sebuah kontroversi internasional dan menimbulkan reaksi, sementara yang lain normal?”
AS: Dituduh mendukung “terorisme”, Tariq Ramadan dilarang oleh Departemen Luar Negeri AS untuk menerima jabatan Profesor di AS pada 2005. Namun dia mengajukan tuntutan hukum setelah pemerintah AS menjatuhkan tuduhan tersebut.
Ramadhan mengungkapkan pelarangan atas dirinya karena dia secara terbuka mengkritik kebijakan AS di Timur Tengah.
Timur Tengah: Ramadan juga “dipersona non grata-kan” (sosok yang tak diinginkan) di Tunisia sebelum revolusi, juga di Mesir, Arab Saudi, Libya dan Suriah. Dia mengatakan bahwa dia tidak diizinkan masuk ke negara-negara itu karena kritiknya terhadap “rezim tidak demokratis” tersebut. Tentu, dia juga tidak diterima di wilayah jajahan Zionis.
Penangkapan Pra-Sidang
Karena kampanye #MeToo yang menjadi viral atas tuduhan terhadap produser Hollywood, Harvey Weinstein, Tariq Ramadan tiba-tiba dikaitkan dan dideretkan dalam daftar tokoh masyarakat laki-laki yang dituduh melakukan pelanggaran.
Kampanye #Metoo: Yang pertama adalah Henda Ayari, menuduh Ramadan telah melakukan “pemerkosaan, kekerasan seksual, pelecehan dan intimidasi”.
Ketika berita tentang tuduhan tersebut terjadi, New York Times dengan cepat menjalankan sebuah cerita tentang Ramadan, berjudul: “Harvey Weinstein of Islam” (Harvey Weinstein dari Islam).
Ayari, yang mengepalai organisasi wanita Les Liberatrices, mengajukan keluhannya kepada jaksa Rouen di Prancis pada November 2017.
“Mengacu pada pemerkosaan yang dia gambarkan dalam bukunya, I Chose to Free, Ayari mengatakan, “Ini adalah keputusan yang sangat sulit, tapi saya juga sudah memutuskan untuk mengadukan penyerang saya, yaitu Tariq Ramadan.”
Pengacara Ramadan, Yassine Bouzrou, membantah tuduhan tersebut dan akan menuntut Ayari karena telah melakuan penghinaan.
Dalam sebuah video, Ramadan mengatakan bahwa Ayari menyediakan tiga akun berbeda dalam tiga kesempatan terpisah.
Penangkapan: Meskipun tidak ada tuduhan yang diverifikasi, majelis hakim Prancis memutuskan bahwa Tariq Ramadan menimbulkan “risiko penerbangan” (melarikan diri) dan dapat cenderung kembali melakukan pelanggaran. Berdasarkan hal tersebut, dia telah menjalani penahanan pra-sidang.
Ramadan telah dihilangkan jaminannya dan ditempatkan dalam sel isolasi di penjara Fleury-Merogis. Prancis telah menghilangkan hak-hak cendekiawan Muslim tersebut dalam kurungan isolasi sejak penangkapannya itu. (MNM/Salam-Online)
Sumber: Aljazeera