Di Balik Aksi Damai Palestina yang Dibalas Serangan Brutal Penjajah
SALAM-ONLINE: Pada Jumat, 30 Maret 2018 lalu, ratusan ribu warga Palestina menggelar demonstrasi besar-besaran di beberapa titik di Jalur Gaza yang berbatasan dengan tembok ilegal yang dibangun penjajah Zionis untuk membatasi wilayah jajahannya dengan tanah Palestina.
Dilaporkan, aksi yang disebut sebagai “Great March of Return” itu telah menelan korban jiwa setidaknya 17 orang gugur dan ribuan lainnya mengalami luka-luka lantaran serangan brutal yang dilakukan oleh militer Zionis.
Padahal Aksi “Great March of Return” atau aksi Kembalinya Tanah Palestina telah diumumkan sebelumnya oleh Anggota Biro Politik Hamas Dr Khalil Al-Hayya, sebagai kegiatan yang damai. Hamas juga mengingatkan penjajah “Israel” untuk tidak mengambil langkah agresif dalam menghadapi demonstran dan mereka yang bergabung, lantaran aksi tersebut bukan hanya diikuti oleh pria dewasa saja, namun turut juga wanita dan anak-anak.
“Itu sebabnya kami melibatkan istri dan anak-anak kami…Kami ingin berdiri di perbatasan tanah kami yang diduduki, tanpa membawa senjata, untuk menyampaikan pesan kami kepada dunia,” kata Al-Hayya saat menggelar konferensi pers di Jalur Gaza, Ahad (1/4/2018) sebagaimana dikutip Middle East Monitor.“Great March of Return” yang digelar pada Jumat 30 Maret lalu adalah bentuk protes warga Palestina atas perampasan tanah oleh Zionis “Israel” sejak 1948 dan kemudian 30 Maret 1976. Pada 15 Mei 1948 itu warga Palestina telah menjadikannya sebagai hari nasional dan simbolis yang selalu diingat. Sementara pada 30 Maret 1976, juga terjadi peristiwa penting.Pada 42 tahun silam itu, militer penjajah telah membunuh enam orang Arab dan warga “Israel” yang mendukung kemerdekaan Palestina. Pembunuhan tersebut terjadi dalam sebuah demonstrasi dengan tuntutan yang sama. Oleh karenanya, 30 maret kemarin adalah pengulangan aksi atas demonstrasi yang pernah dilakukan 42 tahun silam.
Nantinya, dalam rangka memperingati hari penting tersebut, selama enam pekan ke depan, demonstrasi akan berlangsung sepanjang hari tanpa henti di lima titik berbeda di sepanjang jalur perbatasan yang diduduki “Israel”, tanah Palestina di Gaza.Tuntutan aksi pun tidak akan berubah. Yakni, menuntut satu tuntutan penting, “kembalinya hak warga Palestina” berupa rumah dan tanah mereka yang telah sekian lama dirampas oleh Penjajah “Israel”.
Aksi tersebut akan memuncak pada 15 Mei. Tanggal itu merupakan peringatan “Hari Malapetaka” atau “Yaumul Nakbah”. Yaumul Nakbah, 15 Mei 1948, adalah hari bersejarah. Lebih dari 750 ribu warga Palestina diusir dari tanah miliknya karena penjajah Zionis “Israel” mendirikan “Negara” Ilegalnya.
Beberapa bulan setelah peristiwa “Yaumul Nakbah”, terjadi peristiwa pembantaian Deir Yassin yang kurang terdengar beritanya di dunia karena tidak banyak orang yang tahu. Peristiwa menyakitkan ini menyebabkan masing-masing keluarga terpencar, terpisah dan tak diketahui rimbanya.
Seorang wanita pengungsi Palestina bernama Husun Al-Azza yang menjadi salah satu korban dari peristiwa pengusiran paksa itu, pernah mengenang ketika pesawat “Israel” menyebarkan selebaran dari udara yang memperingatkan orang-orang Palestina segera meniggalkan rumahnya jika tidak ingin dibantai seperti peristiwa Deir Yassin.
Husun Al-Azza hanyalah sedikit dari orang tua yang menjadi saksi sejarah. Dan detil memori seperti inilah yang jarang dimiliki oleh generasi muda Palestina masa kini.
Maka, Yaumul Nakbah, sengaja diperingati agar generasi muda yang menentukan masa depan Palestina saat ini tidak melupakan peristiwa mengenaskan tersebut. Kemudian, menjadikannya sebagai panggilan untuk merebut kembali tanah airnya yang dirampas sang Zionis.Setidaknya ada 10 fakta penting tentang Yaumul Nakbah:
Pertama, Nakbah adalah kata dari Bahasa Arab yang artinya “Bencana”. Hal ini digunakan untuk menggambarkan hilangnya tanah dan properti Palestina selama depopulasi Palestina dari tahun 1947-1949 dan tidak hanya merujuk kepada deklarasi “negara Israel”.
Kedua, 212 daerah telah didepopulasi dan setidaknya setengah dari pengungsi terbentuk selama Nakba sebelum 15 Mei, yaitu sebelum masuknya tentara negara-negara Arab lainnya. Kota-kota Palestina terbesar pada saat itu, Yaffa dan Haifa, dikosongkan oleh sebagian besar penduduknya sebelum 15 Mei 1948. Gagasan adanya pengungsi terjadi setelah, atau hanya sebagai akibat dari mobilisasi tentara Arab yang sudah terbukti salah.
Ketiga, pada setiap tahap perang, pasukan Yishuv/“Israel” unggul dalam pelatihan, peralatan dan jumlah daripada tentara gabungan Arab.
Keempat, Zionis menyiapkan upaya pengumpulan data yang luas untuk memetakan intelijen berkaitan dengan desa-desa Palestina untuk satu dekade sebelum perang. Informasi rinci tentang masing-masing desa, termasuk informasi tentang jumlah penduduk, sumber daya desa, para aktivis potensial yang tinggal di dalamnya dan afiliasi politiknya.
Kelima, Lebih dari 500 desa di Palestina didepopulasi selama Nakbah, 303 desa didepopulasi sebagai akibat dari pengusiran, baik secara langsung yang dilakukan oleh pasukan Yishuv/”Israel” ataupun sebagai akibat dari serangan pasukan Yishuv/”Israel”.
Keenam, dari desa-desa yang didepopulasi, 81 desa telah benar-benar terhapus yang berarti tidak ada tanda-tanda (jejak) keberadaannya. Puing-puing yang diidentifikasi ada di 140 lokasi desa lain. Beberapa dinding telah berdiri nyata di desa-desa lain, sementara pada 74 lainnya didapati beberapa rumah yang masih utuh. Namun desa-desa lain dengan rumah utuh tersebut telah diduduki oleh “Israel”.
Ketujuh, Golda Meir (Perempuan Zionis yang menjadi Perdana Menteri Penjajah, 1969-1974) membongkar sebuah perjanjian rahasia dengan Raja Yordania sebelum perang. Meskipun Legiun Arab Yordania adalah yang paling tangguh di antara tentara Arab, dan meskipun pembantaian di Deir Yassin diuji dalam perjanjian ini, pasukan Yordania tidak menyeberang ke wilayah yang ditujukan untuk “negara jajahan Yahudi” di bawah rencana partisi PBB.
Kedelapan, setelah kota dan desa didepopulasi, penjarahan milik warga Palestina berlangsung merajalela. Warga sipil “Israel” dan tentara ambil bagian dalam menjarah dan merampok rumah-rumah dan toko-toko Palestina yang telah dikosongkan. Sejarawan “Israel” Tom Segev mencatat bahwa dari Kota Lida saja, telah dijarah milik orang-orang Palestina dari 1.800 truk.
Kesembilan, sementara 700.000-800.000 orang Palestina menjadi terusir sebagai pengungsi dan tidak diizinkan kembali ke negaranya sendiri, Palestina. Sekitar 150.000 orang memang tetap berada di dalam wilayah jajahan “Israel” atau menjadi pengungsi di dalam wilayah Palestina yang diduduki “Israel”, namun mereka telah kehilangan milik mereka karena dirampas penjajah. Mereka menjadi sasaran darurat militer sampai 1966. Dan berbagai peraturan diskriminatif sejak saat itu ditimpakan kepada mereka.
Kesepuluh, Yitzhak Rabin (Perdana Menteri Penjajah, 1974-77), seorang petugas selama perang tahun 1948, memasukkan deskripsi perintah untuk mengusir paksa puluhan ribu warga sipil Palestina dalam memoarnya. “Negara Jajahan Israel” mencegah deskripsi ini dicetak saat memoarnya diterbitkan. (MNM/Salam-Online—dari berbagai sumber)