LOMBOK (SALAM-ONLINE): Mata Yono berkaca-kaca ketika membayangkan rumahnya yang kini sudah rata dengan tanah. Gempa besar bertubi-tubi sudah membuat seluruh warga dusun Jorong, Sembalun Bumbung, Lombok Timur, NTB, mengungsi ke tenda sederhana beratap terpal.
Tidak ada warga yang berani masuk ke dalam bangunan. “Hampir semua rumah rata dengan tanah, termasuk rumah saya,” kenang Yono.
Tak pernah terpikirkan dalam benaknya, kalau Lombok akan diguncang gempa dahsyat yang meluluhlantakkan kampung halamannya.
“Hanya Allah saja yang kami miliki sekarang. Yang bisa memberi kami keteguhan menghadapi semua ini,” ungkapnya seperti dikutip INA News Agency, Selasa (21/8/2018).
Namun, di balik kesulitan yang menimpa Yono, di balik rumahnya yang hancur, di balik barang-barangnya yang rusak, di balik trauma akan gempa, ia masih menyisakan sedikit ruang untuk terus berbagi.
Yono adalah salah satu petani yang ikut membagikan bawang hasil buminya, untuk para pengungsi di Lombok Utara. Dan kini, ketika Idul Adha tiba, lagi-lagi Yono ingin berbagi.
“Saya ingin berkurban!” katanya.
Yono tak sendiri. Ada puluhan warga Sembalun Bumbung yang rumahnya rata dengan tanah ingin berkurban. Inisiasi para pengungsi untuk berkurban ini diungkapkan di Masjid Darurat Ramah Gempa dusun Jorong.
Ustadz Sinardi, salah seorang pengungsi yang juga pengurus masjid sebelumnya yang sudah rusak mengatakan bahwa di tengah kesulitan yang menghampiri para pengungsi, mereka berkomitmen untuk tetap berkurban tahun ini.
“Warga akan tetap berkurban tahun ini,” ujar Ustadz Sinardi di hadapan masyarakat ketika membahas Idul Adha di pengungsian. Tak terbayangkan, seorang pengungsi, tak memiliki rumah, hidup dalam kesulitan, masih ingin berkurban?
“Alhamdulillah, dikumpul-kumpul, ada lima sapi kami dapati,” kata Ustadz Sinardi.
Dia, dan juga warga Jorong masih teringat, ketika awal-awal membangun masjid darurat bersama para relawan Sinergi Foundation, Jumat kedua pasca gempa pertama (6.4 SR) melanda.
Para ustadz di masjid itu mengingatkan tentang salah satu ciri orang bertakwa (QS Ali Imran 134) yang tetap berbagi, di saat lapang dan sempit. Maka, kita tahu bagaimana gerakan dari “masjid” beratap terpal ini.
Berpuluh-puluh ton sayuran hasil panen warga dikirimkan untuk para pengungsi di Lombok Utara. Berduyun-duyun warga datang ke masjid, membawa apapun yang mereka miliki.
“Ya memang kami sedang sulit, tapi mungkin masih ada rezeki yang Allah berikan dari panen tanaman kami, atau ada yang memang sudah menabung ingin berkurban, maka mereka tetap berkurban,” kata Ustaz Sinardi.
Saat lapang, ujar Sinardi, warga bisa saja mudah berkurban. Tahun lalu, terangnya, ada lebih dari 11 sapi untuk dusun Jorong saja. “Tahun ini, sementara kami hanya bisa mengumpulkan patungan 5 sapi,” tambahnya.
“Dan tahun ini, saat kondisi kita sulit, ini ujian untuk kami sebenarnya, apakah tetap berkurban atau tidak,” ungkapnya. Dan mereka pun tetap berkurban. Subhanallah!
Bisa saja, kata Sinardi, uang yang tersisa digunakan untuk—misal—membangun rumah, membeli kebutuhan sendiri, dan lainnya.
“Bisa saja sebenarnya seperti itu. Tapi sungguh kami rugi, rugi betul jika kondisi langka seperti itu, kami malah tidak berkurban,” tegasnya.
Sinardi mengatakan, bahwa berjuta hikmah di balik perintah kurban ini. Sebut saja, ketika Nabi Ibrahim yang diminta menyembelih Ismail, anak semata wayangnya yang telah lama dinanti.
Begitu berat Ibrahim untuk menyembelih putranya sendiri. Namun, karena itu perintah Allah, ia tetap lakukan. Di di ujung kisahnya, kita semua tahu bahwa Allah memuliakan mereka berdua dan menjadikan teladan.
Dan kini, teladan Ibrahim-Ismail abad ini mungkin saja hinggap di warga dusun Jorong. Di tengah rasa trauma, di tengah kesulitan, di tengah hilangnya harta benda, mereka tetap berkurban!
Lantas bagaimana dengan kita? (Rizki Lesus/INA)