PALU (SALAM-ONLINE): Pepatah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ nampaknya sudah tidak bisa mewakili nasib para pengungsi gempa Sulawesi Tengah (Sulteng). Bagaimana tidak, sebagai korban gempa, mereka justru tidak memperoleh perlakuan semestinya. Malah bisa dibilang tragis dan dibiarkan mati perlahan.
Sebut misalnya, seperti dialami oleh warga Dusun Bamba, Kelurahan Panau, Kecamatan Taweli, Kota Palu. Rumah mereka hancur diguncang gempa dan diterjang tsunami. Banyak anggota keluarga mereka meninggal.
“Di sini sudah ada 30 mayat yang ditemukan. Masih ada beberapa lagi yang belum (ditemukan, red). Di bawah reruntuhan tampaknya,’’ ungkap Tokoh Dusun Bamba, Muhammad Syukur Lemba.
Tak sempat meratapi kepergian anggota keluarga mereka, warga di sini malah dihadapkan dengan persoalan baru.
Sejak gempa berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang Kota Palu dan sekitarnya pada Jumat (28/9/2018) petang, mereka kesulitan untuk memperoleh makanan. Ironisnya, letak dusun mereka hanya sepelemparan batu dari Pelabuhan Pantoloan, lokasi penurunan bantuan logistik yang melalui jalur laut.
‘’Truk-truk pengangkut bantuan hanya lewat saja. Tidak ada yang berhenti dan membagikan makanan,’’ keluh Syukur Lemba. Padahal, hingga Rabu (3/10) ini, warga Dusun Bamba hanya bisa bertahan hidup mengandalkan makanan seadanya. Pisang, ubi dan kacang-kacangan yang mereka makan.
Minum pun berasal dari air sungai yang mereka masak dan diendapkan. Padahal, di antara warga, terdapat banyak bayi dan orang tua lanjut usia (lansia).
Pakaian pun, kata Syukur Lemba, hanya yang melekat di badan saja yang mereka miliki. “Semuanya habis tertimpa reruntuhan dan terjangan tsunami,’’ ujarnya.
Penderitaan lainnya yang tak kalah pedih adalah stigma pengungsi sebagai penjarah. Padahal, kata dia, yang melakukan penjarahan itu didominasi oleh orang luar Kota Palu.
‘’Masak yang menjarah ada yang bawa mobil, truk, bahkan ada yang masuk lewat jalur laut,’’ tutur pria yang sudah berusia lanjut ini dengan nada tinggi.
Menurut dia, para pengungsi, terutama yang berasal dari Dusun Bamba, mengungsi ke arah pegunungan. Sekalinya turun, mereka hanya datang ke rumah untuk mencari barang-barang yang tersisa, khususnya makanan dan pakaian.
Tak hanya itu, mereka pun hanya datang untuk mencari sanak saudara yang masih belum ditemukan, apakah masih hidup atau meninggal.
“Kami masih trauma, jadi belum kepikiran harus saling baku rampas (rebutan, red). Jadi kita dimanfaatkan dengan cara begini, kami tidak senang,’’ ungkapya.
Kepedihan lainnya adalah ternyata ada penjarah dari luar dusun yang datang untuk menjarah barang-barang berharga yang tertinggal di reruntuhan.
“Kebanyakan mencari perhiasan emas dari reruntuhan rumah kami,’’ terangnya.
Oleh karenanya, Syukur Lemba mengajak warga lainnya untuk mulai menjaga reruntuhan rumah mereka dari para penjarah. Akses jalan menuju dusun mereka dipasangi portal. Jadi, setiap ada orang asing yang datang pasti langsung ditanya. Sama seperti ketika tim dari Yayasan Harapan Amal Mulia datang ke lokasi.
Tapi, setelah dijelaskan maksud dan tujuan kehadiran tim Amal Mulia, demikian Yayasan Harapan Amal Mulia biasa disebut, warga Dusun Bamba menjadi ramah dan menyambut dengan hangat.
“Bantu kami pak. Kalau ada bantuan, makanan dan minuman, langsung kirim ke sini saja. Kami tidak pernah mendapat bantuan apapun. Kami kesulitan,’’ ungkap Zain, warga Dusun Bamba lainnya.
Zain yang kehilangan sang nenek, Bahurin (60) akibat musibah gempa dan tsunami ini mengaku terus berusaha memperoleh bantuan makanan dan minuman untuk keluarganya. Tapi hingga kini belum juga ia dapatkan.
“Kami hanya minta untuk tidak dilupakan,’’ ujarnya.
Kesedihan warga Dusun Bamba tidak boleh berlanjut. Kita bisa menghapus duka mereka secara bersama-sama. Saat ini beberapa posko dibuka untuk Saluran donasi. Salah satunya Yayasan Amal Mulia melalui rekening Amal Mulia Bencana di Bank Syariah Mandiri No rek. 2017 00 4037 a/n Yayasan Harapan Amal Mulia Bencana. Mari tebar amal, gapai kemuliaan. (Saifal/INA)