Ketika politik dan hukum tidak berpihak kepada Muslim yang tersinggung, umat berkumpul di Monas. Jutaan mujahid menekan hukum dan melawan ketidakadilan.
-CATATAN M RIZAL FADILLAH-
SALAM-ONLINE: ‘212’ memang fenomenal. Bagian dari sejarah perjuangan umat Islam. Ini bukan cerita kegilaan Wiro Sableng. Tapi kengawuran “gubernur sombong”, sompral, sradak-sruduk yang menyentuh kesucian Islam. Menista kitab suci.
Ketika politik dan hukum tidak berpihak kepada Muslim yang tersinggung, umat berkumpul di Monas. Jutaan mujahid menekan hukum dan melawan ketidakadilan.
Reuni 212 terjadi tahun 2017 lalu untuk mengenang kemenangan. Ahok kalah dan dipenjara. Cukup bersemangat dengan momentum menjelang Pilkada serentak. Sentuhannya membangun kepemimpinan daerah berbasis umat.
Kini 212 memanggil kembali. Momentum Maulid Nabi, Bela Tauhid, serta pilpres #2019GantiPresiden. Memang, temanya tidak eksplisit. Namun, itu mendorong semangat tinggi untuk berkumpul di Monas lagi. Sentimen perjuangannya adalah melawan ketidakadilan.
Pertama, ketidakadilan politik. Umat Islam merasakan ketimpangan perlakuan politik. Politik Islam seolah ditabukan dengan menganggap sebagai anti kebhinnekaan karena identitas. Lupa bahwa paham kebangsaan yang merasa dominan faktanya telah memunculkan kepercayaan diri bagi tumbuhnya ideologi sosialisme dan komunisme.
Asas ekuilibrium dinafikan dengan prinsip kalah dan menang. Karena partai berbasis Islam dinilai ‘kalah’, maka Islam politik mesti dipinggirkan, dipojokkan. Jika perlu, diadu domba sesama, agar lemah dan ujungnya tereliminasi.
Kedua, ketidakadilan hukum. Kasus yang berhubungan dengan umat Islam dan tokoh tokoh umat sangat cepat direspons dan diproses. Sebaliknya, kasus yang dekat dan membela kepentingan pemegang kekuasaan, bukan saja lamban, bahkan tidak diproses.
Kriminalisasi aktivis dan ulama terjadi. Penegakan hukum beraroma ‘tajam ke lawan, tumpul pada teman’. Hukum menjadi kepanjangan tangan politik.
Ketiga, ketidakadilan ekonomi. Bahasa populernya asing dan aseng jadi penguasa ekonomi. Teori ekonomi kapitalis yang diajarkan di bangku kuliah dipraktikkan sempurna oleh pengusaha di Indonesia. Semburan api Naga telah menggosongkan pelaku ekonomi pribumi. Proteksinya luar biasa. Sampai-sampai menyebut ‘pribumi’ saja sudah terlarang di negeri ini.
Ketidakadilan ini menempatkan rezim represif sebagai peneror sejati. Peristiwa 212 nanti ditandai dengan berkibarnya ribuan atau jutaan bendera tauhid. Inilah simbol perlawanan itu. Bendera suci Nabi yang dibakar oleh orang jahil dan pelakunya dihukum dengan sepuluh hari penjara denda dua ribu rupiah. Vonis yang sangat “menista agama”.
Tapi kita semua harus maklum, karena 212 bukan cerita tentang Wiro Sableng, melainkan tentang sang ratu yang tidak berlaku adil dan membuat negeri porak poranda terlanda puting beliung. Kebijakan politik yang muter-muter, bikin semua orang jadi keblinger.
Akan tetapi orang bijak berkata walau langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan.
‘Dua Satu Dua’ adalah langkah tegak umat untuk perjuangan keadilan.
Selamat bereuni, selamat bersilaturahim. Allah meridhai dan melindungi. Nashrun minallah.
Bandung 27 November 2018
-Penulis adalah Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Institute Bandung