Ini reuni alumni bukan sembarang reuni. Ini adalah konsolidasi keumatan unjuk jiwa atas rasa ketidakadilan, ketertindasan, sekaligus perlawanan damai atas kesombongan, keangkaramurkaan dan kepura-puraan. Para pemimpin yang berkonspirasi dalam khianat dan ambivalensi.-CATATAN M RIZAL FADILLAH-
SALAM-ONLINE: Ahad (2/12/2018) siang, usai sudah Reuni Alumni 212. Dua tahun yang lalu peristiwa itu terjadi. Info dari yang ‘agak siang’ tiba di Monas, akses masuk ke pusat kumpul acara itu sangat sulit, karena kepadatan dan penuhnya lapangan Monumen kebanggaan bangsa tersebut.
Potret yang beredar memang jumlah jamaah membludak. Melebihi kapasitas area Monas. Uniknya jumlah umat yang hadir dipastikan lebih dari saat peristiwa itu bermula, 2 Desember 2016.
Ketika tahun lalu, 2017, banyak yang mengecilkan arti reuni bahkan dengan nada mengejek. Masak ada reuni singkat. Memangnya sekolah di mana. Mana ada reuni untuk ‘sekolah sehari’. Bawaan nyinyir muncul dari orang yang tidak terlibat, baik fisik maupun rasa. Sok pinter, sok bener, bahasa kasarnya. Tapi bagi yang terlibat jiwa dan raganya tentu merasakan sangat bernilai reuni, silaturaim dan komunikasi ideologi ini. Meskipun dia tidak mendapat panggung atau sensasi sebagaimana kebanyakan yang menjadi motif para politisi.
Jumlah yang hadir reuni lebih banyak dari jumlah saat lahirnya peristiwa dua tahun lalu, inilah keunikannya. Kembali ke model komen nyinyir pengamat sok pinter sok bener, maka luar biasa unik jika alumni yang ber-reuni lebih banyak dari jumlah yang ‘sekolah’nya.
Biasanya reuni alumni lebih sedikit, baik lantaran kesempatan atau sudah meninggal atau lainnya. Ini tidak. Alumni lebih banyak dari yang sekokah atau kuliahnya. Itu fakta dan realitasnya.
Ini reuni alumni bukan sembarang reuni. Ini adalah konsolidasi keumatan unjuk jiwa atas rasa ketidakadilan, ketertindasan, sekaligus perlawanan damai atas kesombongan, keangkaramurkaan dan kepura-puraan. Para pemimpin yang berkonspirasi dalam khianat dan ambivalensi.
Bila jujur bacaannya, mesti introspeksi dengan peristiwa ini. Tak ada yang mampu membayar orang untuk hadir sebesar ini. Tak ada yang bisa mengomando bawahan yang masif bergerak seperti air mengalir ke satu tempat yang sama.
Ini getaran dan gerakan iman. Gerakan kesenasiban dari umat yang sabar meski disakiti. Justru kini Allah sedang mengingatkan peguasa yang sedang “sakit”. “Sakit kanker” yang mesti segera “diamputasi”. #2019Ganti…
Jakarta, 2 Desember 2018
-Penulis adalah Ketua Masyarakat Unggul (Maung) Bandung Institute