Diburu dan Ditahan, Ratusan Pengungsi Palestina Terperangkap di Thailand
Tidak ada jalan keluar bagi para pengungsi Palestina yang terperangkap di Thailand. Ribuan orang Palestina yang sebelumnya hidup sebagai pengungsi Suriah melarikan diri dari negara itu setelah pecah perang pada 2011. Para pengungsi itu, di antaranya, menjadi pengungsi lagi ke Thailand. Sekitar 400 pengungsi tersebut, tulis Robert Inlakesh, kini berada dalam bahaya. Berikut catatannya yang ditulis untuk Middle East Monitor (MEMO), Jumat, 7 Desember 2018.
-CATATAN ROBERT INLAKESH-
SALAM-ONLINE: Ratusan pengungsi Palestina di Thailand berada dalam keadaan panik, karena mereka takut penangkapan yang tidak adil dari Otoritas Thailand dan kemungkinan penahanan yang waktunya tak jelas dan tidak terbatas.
Bayangkan, hidup sebagai pengungsi dua kali (mengungsi), yang telah diusir dari satu negara, untuk akhirnya menemukan diri Anda harus melarikan diri dari perang di negara berikutnya. Untuk pengungsi Palestina di Thailand, kisah penganiayaan tidak berakhir di sini.
Ribuan orang Palestina yang sebelumnya hidup sebagai pengungsi di Suriah melarikan diri dari negara itu setelah pecah perang tahun 2011. Setelah melarikan diri ke negara-negara yang berbatasan, ratusan lainnya kemudian melarikan diri ke Thailand, karena kemudahan visa yang mereka peroleh untuk bepergian ke sana.
Warga Palestina yang tiba di Thailand berharap untuk memilih negara ini sebagai rumah baru mereka. Untuk jangka waktu yang singkat, Thailand menyediakan tempat aman dari perang yang diinginkan para pengungsi. Tetapi sejak 2017 semua mulai berubah.
Pada 23 Juni 2017, Undang-undang Royal tentang Undang-Undang Pekerja Asing diterapkan di Thailand. Ini mengakibatkan perlakuan keras terhadap “pekerja migran”. Antara periode 29 Juni dan 27 November 2017, sekitar 150.000 pekerja migran dari Myanmar sendiri juga telah melarikan diri untuk menghindari tuntutan.
Bagi sebagian besar pengungsi Palestina, bagaimanapun, melarikan diri kembali tidak pernah lagi jadi pilihan.
Lebih dari sebulan yang lalu, pihak berwenang Thailand menjadi sangat keras. Mereka meningkatkan upaya untuk menangkap para pengungsi Palestina. Aktivis merilis daftar nama-nama 39 orang Palestina yang ditahan di penjara Thailand. Sisanya menolak disebutkan namanya karena takut akan mendapatkan kesulitan. Termasuk dalam daftar adalah anak-anak mulai dari usia 5-13 tahun.
Sampai saat ini, sekitar 80 pengungsi Palestina telah diburu oleh otoritas Thailand, diproses melalui penjara lokal dan kemudian disatukan ke pusat penahanan yang penuh sesak. Salah satu pusat penahanan adalah Suan Phlu IDC (Pusat Penahanan Imigrasi) di Bangkok yang terkenal dengan perlakuan terhadap narapidanya yang tidak manusiawi, karena kurangnya bantuan medis, terlalu sesak dan kondisi sanitasi yang buruk.
Ahmed Abed Al-Rahman adalah seorang Palestina-Suriah yang sebelumnya ditahan di Suan Phlu IDC. Ahmed menggambarkan sel-sel itu “sangat penuh sesak”. Selama periode “check-in”, tahanan ditahan di mana saja dari enam jam hingga beberapa hari, di dalam sel yang padat berisi sekitar 70 orang.
Ahmed mengungkapkan setibanya di IDC, dia ditelanjangi dan dipaksa untuk tidur di lantai hanya dengan sebuah kaleng besi untuk mengganjal sebagai “bantal” kepalanya.
Warga Palestina di Thailand yang sebelumnya hidup sebagai pengungsi di Suriah itu didokumentasikan dan diterima sebagai pengungsi oleh UNHRC, tetapi pemerintah Thailand tidak menerimanya.
Menurut laporan pada 2018 yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch (HRW), Thailand belum menyetujui Konvensi Pengungsi 1951 dan protokol 1967-nya. Otoritas Thailand terus memperlakukan pencari suaka, termasuk yang diakui oleh PBB sebagai pengungsi, dengan sebutan migran ilegal yang harus ditangkap dan dideportasi.
Aktivis setempat yakin sembilan pengungsi anak Palestina ditahan di Suan Phlu IDC di Bangkok.
Seluruh keluarga telah ditangkap dan dibawa menggunakan kendaraan tahanan ke penjara setempat, atau dalam kasus lain, langsung ke IDC. Ketika ditahan di penjara lokal, para pengungsi dipenjara bersama narapidana pembunuh dan pelaku kejahatan seks. Setelah menghadapi hukuman penjara lokal, mereka yang ditangkap akhirnya dipindahkan ke IDC.
Pada 3 September 2018 lalu, Amnesty International mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri Thailand. Amnesty menekankan implikasi dari penindasan baru-baru ini terhadap pengungsi Vietnam dan Kamboja. Dalam surat itu, pusat-pusat penahanan yang disebutkan sama dengan di mana para pengungsi Palestina ditahan.
Amnesty melaporkan bahwa “anak-anak yang ditahan di pusat-pusat ini sangat rentan terhadap gangguan psikologis dan fisik yang tidak dapat dibalikkan dan pelanggaran hak asasi manusia”. Lembaga HAM ini menekankan bahwa tindakan harus diambil untuk mencegah pelanggaran hak-hak anak-anak tersebut.
Abo Amer, seorang pengungsi Palestina berusia 40 tahun yang tinggal di Bangkok bersama istri dan tiga anaknya berumur 1, 3 dan 6 tahun, menggambarkan situasi di negara gajah itu sebagai “sangat menyakitkan”. Ia menyatakan kekhawatiran terhadap keluarganya.
“Saya hidup dalam ketakutan. Saya dan keluarga saya khawatir dibawa pergi, bagaimana anak-anak saya bisa mengerti apa yang terjadi pada mereka?” ujar Abo Amer.
Loay Shihabi mengatakan, “Hidup di sini sangat mengerikan” ketika ditanya tentang situasi di Bangkok. Pengungsi Palestina tidak punya harapan untuk mencari pekerjaan. “Saya tidak punya pilihan selain tinggal di dalam. Jika saya berusaha bekerja secara ilegal dan mereka menemukan saya, saya akan ditahan dan mereka menjadikan keluarga saya dalam bahaya,” kata Loay Shihabi.
Para pengungsi Palestina yang ditahan di pusat-pusat penahanan Thailand sekarang berjuang untuk membebaskan diri. Tetapi untuk melakukan itu dibutuhkan paspor dan dukungan dari UNHCR. Satu-satunya jalan keluar mereka adalah “pemukiman kembali”.
UNHCR menolak untuk membantu pengungsi Palestina di Thailand kembali ke pemukiman. Padahal satu-satunya jalan keluar mereka adalah “kembali ke permukiman”.
Tapi badan pengungsi PBB, UNHCR, menolak untuk membantu pengungsi Palestina di Thailand kembali ke permukiman, termasuk mereka yang ditahan. Upaya berulang saya (penulis) menghubungi UNHCR untuk meminta tanggapannya tidak mendapatkan respons.
Terlepas dari kurangnya liputan pers tentang masalah tersebut, kasus ini menarik perhatian berbagai media Palestina, beberapa minggu yang lalu. Permohonan dibuat ke Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas, agar dia menekan untuk membantu mengakhiri penderitaan perempuan dan anak-anak Palestina yang saat ini ditahan di penjara Thailand.
Menurut Kantor Berita Ma’an, Abbas “mengeluarkan perintah” untuk “menindaklanjuti kasus beberapa wanita pengungsi Palestina yang ditahan di penjara Thailand”.
Meskipun kasus ini sekarang telah diangkat dalam jajaran PA, namun hasilnya belum terwujud. Banyak warga Palestina di Thailand mengajukan permohonan paspor PA, tetapi tidak berhasil.
Iyad Suleiman (34) telah menghabiskan tujuh bulan dari penahanannya selama satu tahun untuk menunggu permohonan paspornya diproses.
Informasi terakhir, jumlah orang Palestina di Thailand yang ditangkap dan dipindahkan ke pusat penahanan telah meningkat secara dramatis.
Pada 3 Desember 2018 lalu, pemerintah Thailand mengumumkan penangkapan 22 pengungsi Palestina, bersama dengan dua pengungsi Somalia. Serangkaian penangkapan terbaru ini menyusul demonstrasi pada 30 November lalu, saat sekitar 60 pengungsi Palestina berdemo di depan komplek UNHCR di Bangkok.
Para pengunjuk rasa dan anak-anak mereka mengungkapkan rasa jijik mereka atas kurangnya perhatian dan tindakan UNHCR. “UNHCR bertanggung jawab atas pengungsi Palestina yang bertahun-tahun tanpa pendidikan atau perawatan (medis),” demikian ungkapan curahan hati mereka. Sebelum penangkapan besar-besaran, lima orang Palestina ditangkap lebih dahulu.
Jika kelambanan UNHCR dan Otoritas Palestina terus berlanjut, 400 lebih warga Palestina tersisa yang belum dipenjara, bisa berada dalam bahaya, meninggalkan anak-anak dalam sel tahanan yang penuh sesak tanpa masa depan yang jelas.
Sumber: MEMO, 7 Desember 2018. (mus)