-CATATAN MILA AFIAH, S.Pd-
Islam adalah ajaran lengkap, tak hanya mengurusi ibadah mahdhah seperti kerap dilontarkan oleh orang-orang jahil (tak memahami Islam), tapi juga mengatur kehidupan bernegara, politik, pendidikan, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Lalu, bagaimana cara Islam dalam mengatur agar harga pangan tetap stabil ketika melonjaknya inflasi yang dipicu kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, misalnya? SALAM-ONLINE: Kenaikan harga bahan pokok menjadi agenda rutinan ketika akhir tahun dan akan memasuki tahun baru. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras mengalami kenaikan antara 1,3 sampai 2,52% pada November 2018. Baik beras kualitas premium, medium, maupun rendah.
Meski mengalami kenaikan, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan harga ini masih wajar karena tidak jauh berbeda dengan harga beras di periode yang sama pada 2017 (Okezone, 3/12/2018).
Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebut ada beberapa komponen yang menyebabkan kenaikan harga pangan di akhir tahun.
“Pemicu melonjaknya inflasi harga barang yang diatur pemerintah biasanya dipicu oleh kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL). Sementara inflasi barang bergejolak kerap kali terjadi ketika permintaan bahan pangan dan makanan mengalami lonjakan menghadapi lebaran, natal dan tahun baru,” kata Eko Listiyanto dari Indef di Jakarta. (Kontan.co.id, 15/11/2018).
Tren kenaikan ini bisa dinilai tidak wajar karena menyebabkan ketidak stabilan harga. Masyarakat membenarkan kenaikan ini dan memandangnya sebagai sesuatu yang biasa terjadi di akhir tahun. Namun tetap saja berbagai keluhan keluar dari mulut emak-emak yang harus mengerem pengeluaran dan memutar otak agar belanja harian bisa tercukupi namun dapur tetap bisa mengepul.
Pemerintah atau para pengambil kebijakan tidak dapat terus berlindung dengan alasan kedua momen tersebut. Pemerintah harus menekan serta menstabilisasikan harga pangan guna menjaga inflasi agar tetap terkendali.
Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan dengan menjaga harga pangan tetap stabil. Menjaga harga pangan tetap stabil itu dengan dua cara:
Pertama, menghilangkan mekanisme pasar yang tidak sesuai dengan syariah seperti penimbunan, intervensi harga, dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang penimbunan makanan,” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Jika pedagang, importir atau siapa pun yang menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.
Kedua, Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak,” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).
Adanya importir, pedagang, dan lainya, jika menghasilkan kesepakatan harga, maka, itu termasuk intervensi dan dilarang. Jika terjadi ketidakseimbangan (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.
Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Gubernur Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada Gubernur Amru bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu di Mesir.
Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan Amru Radhiyallahu ‘anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian diangkut ke Makkah. (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).
Jika pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba,” (QS Al-Baqarah: 275).
Ayat di atas bersifat umum, menyangkut perdagangan dalam dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara).
Terlihat sangatlah rinci hukum Islam mengatur bagaimana urusan manusia ini tersolusikan dan dapat membawa kemaslahatan umat. Ini hanya dalam satu aspek saja ketika diterapkan bisa membawa kemaslahatan. Apalagi hukum hukum yang lain bisa diterapkan, maka akan membawa keberkahan di langit dan bumi. Wallahu a’lam bish-shawab.