-CATATAN ADNIN ARMAS-
Umat Islam sering dituduh melakukan politisasi agama, menjadikan agama untuk kepentingan politik. Mengapa Politisasi Agama ditolak? Apa latar belakang munculnya penolakan politisasi agama? Apakah Politik Islam itu sama atau berbeda dengan Politisasi Islam?
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, seorang non-Muslim, berziarah ke Masjid Luar Batang pada Sabtu (19/1/2019) malam. Apakah ziarah ini termasuk bagian dari Politisasi Islam? Apakah terpilihnya Kiai Ma’ruf Amin sebagai Cawapres yang diusung oleh 9 partai politik, termasuk bagian dari Politik Islam atau Politisasi Islam?SALAM-ONLINE: Dunia Barat Modern punya pengalaman traumatis kepada masa lalu. Manusia Barat Modern menyebut masa lalu mereka sebagai Zaman Kegelapan (Dark Ages) atau Zaman Pertengahan (Medieval Ages).
Politik (Sekular)
Bagi masyarakat Barat Modern, pengalaman masa lalu mereka menunjukkan Gereja telah berada dalam zaman keemasannya. Kekuasaan Paus tidak tertandingi. Paus menentukan kekuasaan para raja di Eropa. Perintah Paus ditaati oleh para raja dan masyarakat.
Namun, dalam perjalanan waktu, Paus tidak sanggup menjaga reputasinya dan pengaruhnya. Paus tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Bahkan permasalahan internal dalam ajaran Katolik menjadi persoalan tersendiri yang tidak bisa diatasi.
Kritik-kritik bermunculan terhadap ajaran Paus. Martin Luther bahkan menganggap Paus sebagai Anti Kristus. Kritik-kritik tersebut tentunya melemahkan kekuasaan Paus. Saat Gereja berkuasa, kebebasan masyarakat Barat dibungkam, perbedaan pendapat diinkuisi atau dipersekusi secara radikal. Wanita ditindas, masyarakat dizalimi dan berbagai kehidupan sosial yang buruk terjadi.
Akhirnya, manusia modern Barat meyakini Kebenaran, Kebebasan, Kemakmuran dan Kemajuan hanya bisa diraih dengan melepaskan pengaruh kekuasaan Gereja. Gereja yang pada Zaman Pertengahan berada dalam Zaman Keemasan dengan kekuasaannya yang begitu mencengkram berubah statusnya pada Zaman Modern Barat.
Gereja tidak boleh lagi mencampuri politik. Peran Gereja dipinggirkan. Gereja atau Agama dianggap keyakinan individu yang itu menjadi urusan masing-masing dengan Tuhannya. Jadi, Gereja atau agama tidak boleh lagi mengatur kehidupan sosial. Kehidupan sosial adalah “Penguasa Baru”. Aturan-aturan yang berlaku dan ditaati adalah aturan-aturan yang disepakati mayoritas masyarakat. “Kedaulatan rakyat” yang menjadi “Suara Tuhan”.
Jadi, Politik Sekular (politik yang cerai dari agama) bersumber dari pengalaman traumatis masyarakat Barat terhadap sejarah kelam mereka.
Dalam perkembangannya, bukan saja politik yang diceraikan dari agama. Tapi ilmu pengetahuan alam dan sosial, sumber bagi pandangan manusia tentang kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan juga dilepaskan dari agama.
Sumber pandangan hidup dan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat Barat Modern berasal dari Rasio, bukan lagi dari Gereja atau agama. Kuatnya pengaruh Peradaban Barat modern memunculkan hegemoni stigma Politisasi Agama. Tatkala agama muncul dalam ranah politik, maka stigma politisasi agama diberikan. Agama dianggap tidak tepat masuk ke ranah politik karena justru dianggap akan mencederai agama itu sendiri.Selain itu, penafsiran agama dianggap sangat beragam dan tidak ada penafsiran tunggal terhadap ajaran agama. Ranah publik juga dianggap tidak boleh diwarnai dengan satu agama yang partikular. Berbagai perilaku dan contoh negatif politisasi agama ditonjolkan yang tujuannya untuk menunjukkan kesalahan gagasan politisasi agama. Penolakan politisasi Gereja/agama sekalipun awalnya berasal dari pengalaman masyarakat Barat, tapi kemudian dijadikan gagasan yang universal.
Islamisasi Politik bukan Politisasi Islam
Islam memiliki perbedaan dan pertentangan dengan Peradaban Barat Modern. Islam bersumber dari Wahyu dan Islam merupakan Agama Wahyu. Bukan Agama Budaya. Sebagai Agama Wahyu, ada ajaran-ajaran dan nilai-nilai Pasti dan Tetap. Contoh ajaran yang Pasti dan Tetap seperti Shalat Subuh pasti 2 rakaat. Pasti dikerjakan saat subuh, bukan waktu Isya. Pasti Imam berada di depan makmun. Pasti berwudhu atau bertayammum dulu sebelum shalat.
Contoh Kepastian dan Ketetapan seperti ini juga berlaku pada ajaran Islam yang lain seperti Puasa Wajib Pasti di Bulan Ramadhan. Thawaf dan Haji Pasti di daerah Makkah dan sekitarnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh Kepastian dan Ketetapan lainnya.
Perbedaan zaman dulu, sekarang dan akan datang tidak akan pernah mengubah Kepastian-Kepastian ini. Perbedaan geografis juga tidak akan mengubah Kepastian-Kepastian ini. Sebabnya, Sumber ajaran ini berasal dari Wahyu, yang universalitasnya diyakini kebenarannya oleh umat Islam di segala ruang dari zaman ke zaman, hingga ke akhir zaman.
Jika Islam dijauhkan, dipinggirkan, diceraikan dalam kehidupan masyarakat yang mayoritas Muslim, maka justru kekeliruan-kekeliruan yang pasti terjadi. Jika politik diceraikan dari Islam, maka politik akan diisi dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Sebagian nilai-nilai tersebut berpotensi merusak kehidupan manusia yang beradab. Politik yang terpisah dari ajaran Islam memiliki daya rusak yang tinggi dalam kehidupan kemanusiaan. Para politikus sekular telah, sedang bisa menyetujui berbagai undang-undang yang merusak nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Sebagian politikus di Barat telah pun menetapkan undang-undang yang membolehkan perkawinan sesama jenis. Di Indonesia, sebagai contoh, undang-undang mengenai perbuatan homoseksual, lesbian dan prostitusi masih abu abu.
Dalam politik yang sekular, tujuan menghalalkan segala cara. Semua menjadi halal demi meraih kekuasaan. Dalam politik sekular, parameter baik dan buruk, adil dan zalim, semuanya bukan karena berdasarkan ajaran Syar’i tapi karena nilai-nilai rasional yang hidup dan yang menjadi keinginan masyarakat. Selain itu, politik sekular berpotensi menghapuskan dan menghilangkan ketetapan-ketetapan Wahyu.
Islam yang memuat nilai-nilai luhur perlu dan harus mewarnai politik agar menjadi politik yang bermartabat. Inilah politik Islam. Politik sekular dan sikap apolitis adalah keliru karena Islam tidak terpisah dari politik.
Imam al-Ghazali (w. 1111) menyatakan Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Menceraikan Islam dari politik akan melemahkan ajaran Islam. Imam al-Ghazali menyatakan, “Agama dan Kekuasaan adalah Saudara Kembar, dengan demikian: Agama adalah Fondasi, sedang Penguasa adalah Penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki Fondasi akan hancur, dan sesuatu yang tidak memiliki Penjaga akan hilang (musnah).”
Ungkapan Imam al-Ghazali tersebut bukanlah Politisasi Agama. Tapi Islamisasi Politik, menjadikan politik sebagai alat untuk menjaga ajaran Islam. Politik Islam berupaya agar undang-undang, peraturan, sistem sosial masyarakat tidak membawa manusia kepada kerusakan nilai kehidupan.
Jadi, seharusnya para politisi Muslim memperjuangkan nilai-nilai Islam supaya bisa berlaku dalam kehidupan sosial. Namun ironisnya, sebagian politisi Muslim berperilaku seperti para politikus sekular. Jika para politikus Muslim tidak mengubah perilaku politiknya, maka masyarakat lambat laun akan muak dengan Islam.Contoh-contoh buruk perilaku politikus Muslim menyebabkan perasaan anti Islam bisa muncul seperti yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Barat Modern yang muak dengan perilaku tokoh agama. Para politikus Muslim perlu terus mengingat bahwa tujuan utama berpolitik adalah untuk menegakkan Islam. Berpolitik untuk Islam. Inilah Politik Islam atau Islamisasi Politik. Bukan Politisasi Islam. Jika politikus menjadikan Islam untuk meraih Kepentingan Politis, maka inilah Politisasi Islam. Jika Pilkada dan Pemilu dekat, fenomena Politik Islam dan Politisasi Islam semakin nampak.Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, pada Sabtu malam, 19 Januari 2019, berziarah ke Masjid Luar Batang, Jakarta. Namun, di tahun politik ini tentu akan menimbulkan penafsiran tertentu. Apalagi Hasto sering mengecam politisasi agama.
Ziarah Hasto ke Masjid Luar Batang adalah bagian dari politisasi Islam. Sebabnya, seorang Non-Muslim yang track recordnya dalam membela Islam, tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Apakah Kiai Ma’ruf Amin yang diusung dan didukung oleh PDIP, GOLKAR, NASDEM, PKB, PERINDO, HANURA, PKPI, PSI dan PERINDO bagian dari Politik Islam atau Politisasi Islam? Jokowi yang bukan ketum parpol tidak bisa memutuskan sendiri dengan mengabaikan suara ketum parpol pengusungnya.
Jadi, bukan Jokowi yang menentukan. Tapi pemilihan Kiai Ma’ruf Amin ditentukan oleh Parpol besar Pengusung, terutama oleh Megawati seperti dalam video yang sudah viral tersebar. Jadi, dengan track record parpol pengusung Jokowi yang sudah umum diketahui publik, pemilihan Kiai Ma’ruf ditafsirkan sebagai bagian dari politisasi Islam. Artinya, suara umat Islam dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
-Penulis Pemerhati Masalah Sosial dan Politik Islam