-CATATAN M RIZAL FADHILLAH, SH-
“Larangan” shalat Jum’at di Masjid Agung Kauman Semarang bagi Capres Prabowo jika itu terlaksana tentu sudah “out of order” bahkan “disorder”. Apalagi status yang bersangkutan hanya sebagai jamaah, bukan Khatib.
SALAM-ONLINE: “Pelarangan” terhadap Capres Prabowo Subianto untuk melaksanakan shalat Jum’at di Masjid Agung Kauman Semarang berbuntut panjang. Ketua Ta’mir Masjid KH Hanief Ismail dibully banyak orang. Dan pelarangan pun menjadi isu politik, meski ada bantahan KH Hanief soal pelarangan itu. Berita hari ini, Jumat (15/2/2019) Prabowo akhirnya tetap shalat Jum’at di Masjid Agung.
Sebagaimana dipahami bahwa “Yaumul Jum’ah” adalah hari besar umat Islam yang juga disebut “Sayyidul Ayyam”, hari yang mulia. Hari laki-laki Muslim diperintahkan untuk berkumpul bersama dalam shalat berjamaah di masjid. Salah satu rukun, yaitu “khutbah”. Betapa pentingnya agenda ini hingga jika sedikit saja jamaah ngobrol, maka baginya “laa jum’ata lahu”, gagal ibadah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak membatasi konten. Sebagai dakwah, maka substansinya adalah mengajak pada yang benar (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar).
Karenanya berbicara akidah, ibadah maupun muamalah sah-sah saja. Iqtishodiyah (ekonomi) maupun siyasiyah (politik) tidak juga masalah. Yang penting mengajak untuk takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalat Jum’at menjadi sub sistem dari sistem Islam itu sendiri.
Sebagai bagian dari sistem, maka kejamaahan dalam shalat telah mampu membentuk sendiri pola, cara dan isi khutbah. Juga respons jamaah terhadap khutbah. Ada “self control” di dalamnya.
Oleh karena itu agak janggal jika pernah diadakan “riset” instansional untuk mengklasifikasi keberadaan “khatib radikal” dengan arah pada pelarangan. Sikap berlebihan seperti ini sebenarnya adalah pelecehan terhadap otoritas jamaah dan sistem yang sudah lama terbentuk dalam ibadah shalat Jum’at yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan diteruskan oleh para Khalifah.
Kembali pada “larangan” shalat Jum’at di Masjid Agung bagi Capres Prabowo tentu jika itu terlaksana sudah “out of order” bahkan “disorder”. Apalagi status yang bersangkutan hanya sebagai jamaah, bukan Khatib. Jika alasan pelarangan adalah politis, maka wajar reaksi juga menjadi politis. Dan itu justru merugikan pihak yang melarang.
Pilpres jangan dijadikan hidup mati bangsa. Jika terpilih si A atau si B, bangsa dan negara tidak menjadi hilang. Kematangan berdemokrasi diuji dengan hal ini. Keterpilihan tidak mematikan kontrol politik kemudiannya. Bukan tak mungkin pula jatuh di tengah jalan bagi Presiden yang menyimpang. Sejarah kita telah banyak mencatat model seperti itu.
Oleh karenanya kita semua berharap kompetisi ini berjalan fair. Bermain-main atau licik berakibat bukan selesai sampai saat pemilihan saja. Masih panjang cerita kepemimpinan bangsa dan negara ini. Husnul atau su’ul khotimah nantinya.
Shalat Jum’at tidak boleh dipolitisasi, meski politik menurut syariah hal yang melekat dengan Al Islam itu sendiri. Politisasi adalah pikiran pendek dan pragmatik. Sedang politik menurut syariah berdimensi panjang dan bermashlahat bagi umat. Mempersoalkan shalat Jum’at tidak mashlahat.
Seharusnya belajar dari peristiwa tumbangnya Ahok yang diawali dengan ibadah Jum’at di Aksi 411 Istiqlal dan 212 Monas. Jika tak ingin tumbang, jangan bermain-main dengan ibadah shalat Jum’at.
“Hayya alash Sholaah, hayya ‘alal Falaah”. Marilah shalat, marilah merebut kemenangan…!
Bandung, 15 Februari 2019
-Penulis adalah Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute