-CATATAN M RIZAL FADHILLAH, SH-
Sebagaimana diketahui bahwa jual beli barang dalam Masjid itu haram, lalu “jual beli suara” dalam Masjid haram atau halal?
SALAM-ONLINE: Di hari Prabowo dipermasalahkan untuk shalat Jum’at di Masjid Agung Kauman Semarang, Jokowi setelah shalat justru membagi-bagikan sertifikat tanah di Masjid Raya Bengkulu.
Walau akhirnya Prabowo dapat melaksanakan ibadah shalat Jumat di Madjid Agung Semarang tersebut. Namun perjuangan untuk itu memakan energi, termasuk harus melibatkan reaksi masyarakat terlebih dahulu.
Sementara Jokowi difasilitasi untuk melaksanakan shalat jum’at, bahkan bisa “bermain politik” dulu setelahnya di Masjid tersebut. Membagikan sertifikat.
Pembagian sertifikat tanah di dalam Masjid seperti ini dilakukan juga sebelumnya di Masjid Cibatu Garut, Jawa Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan “cara kampanye” seperti ini adalah agenda.
Cara kampanye? Bukankah dia sedang memerankan diri sebagai Presiden ? Nah di sinilah masalahnya. Jika sebagai Presiden tentu membagikan sertifikat dilakukan di Kantor Badan Pertanahan atau di lokasi masyarakat tersebut berada. Bukan di Masjid. Tidak ada relevansi sertifikat tanah dengan Masjid.
Ketika tak ada relevansi berarti sang figur bukanlah Presiden. itu adalah Calon Presiden yang sedang berkampanye. Bawaslu seharusnya mengusut pelanggaran kampanye seperti ini.
Dubious (meragukan) status antara Presiden dan Calon Presiden seperti ini adalah konsekuensi dari tidak dilepasnya jaket Presiden dalam kompetisi Pilpres. Mana Presiden, mana pula kandidat Presiden. Tidak jelas jender bapak Jokowi di sini. Bisa saja ada yang menyebut model seperti ini sebagai “banci politik”. Kabur dan tak jelas jender. Status AC/DC.
Kecurangan begitu kasat mata. Pembagian sertifikat yang digunakan sebagai kampanye seperti ini di samping pelanggaran pemilu yang kena pidana pemilu, juga secara syar’i patut untuk didiskusikan lebih mendalam.
Sebagaimana diketahui bahwa jual beli barang dalam Masjid itu haram, lalu “jual beli suara” dalam Masjid haram atau halal? Bagaimana jika sertifikat menjadi alat tukar dalam “jual beli tertangguh” hingga dua bulan ke depan? Hal ini merupakan persoalan serius. Apapun itu kenyataannya kini rakyat dipaksa harus menonton pertunjukan pembodohan seperti ini.
Pernyataan bahwa tidak boleh membawa politik ke dalam Masjid dikhianati sendiri. Lidah memang tak bertulang. Omongan tak sama dengan perbuatan. Pembagian sertifikat dalam Masjid adalah politik. Bukan Agama. Padahal sebelumnya Jokowi bilang Agama harus dipisahkan dengan Politik.
Kini Jokowi bawa politik ke Masjid. Itu bukan zakat, infak atau shadaqah. Apalagi ibadah magdhah. Bolehlah itu disebut riya’ di dalam Mesjid. Rusak ajaran agama jika dimain-mainkan seperti ini. Rumah Allah digunakan sebagai tempat perjudian politik.
Moga saja mereka yang terlibat dalam “jual beli” seperti ini cepat bertaubat. Mumpung masih diberi jatah usia. Jika ajal telah tiba maka mainan sertifikat itu bakal mencelakakan kehidupan akhiratnya kelak.
Di rumah Allah tersimpan “berhala” yang digunakan untuk mendulang suara. Sungguh keji.
Bandung, 16 Februari 2019
-Penulis adalah Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute