-Catatan M Rizal Fadillah, SH-
SALAM-ONLINE: Sesuai dengan dugaan bahwa wacana referendum akan dinyatakan sebagai makar oleh rezim yang sedang uring-uringan dan sensitif. Menkopolhukam Wiranto mengancam tangkap pemimpin Aceh Muzakir Manaf (Mualem) yang melontarkan gagasan referendum tersebut.
Akademisi Prof Indriyanto Seno Adji mengaitkan referendum sebagai makar berdasarkan Pasal 106 KUHP yang menegaskan tentang pemisahan diri wilayah negara. Sebagaimana Wiranto, ia pun menyebut Tap MPR tentang Referendum sudah dicabut.
Referendum adalah hukum. Tidak mungkin suatu perbuatan hukum itu “makar”. Karena dihasilkan berdasarkan proses penetapan peraturan perundang-undangan. Referendum Timor Timur dimuat dalam bentuk hukum Ketetapan MPR.
Pandangam Wiranto dan Indriyanto bahwa Ketetapan MPR tentang Referendum sudah dicabut itu adalah referendum tentang perubahan konstitusi. Dalam Hukum Tata Negara referendum adalah hal yang lazim, bukan asing. apalagi makar.
Alas hukum referendum bisa berdasar aturan dasar tertulis bisa juga melalui Konvensi. Ketentuan tidak selalu harus eksplisit tertuang dalam pasal-pasal sebagaimana UUD1945 yang memberi kemungkinan terjadinya kebiasaan ketatanegaraan atau Konvensi (Penjelasan UUD 1945).
Berkaitan dengan Pasal 106 yang disinggung Prof Indriyanto nampaknya keliru. Karena ia mencampuradukkan antara makar untuk memisahkan diri dari negara dengan referendum untuk memisahkan diri. Yang dilarang adalah makar. Referendum tidak masuk dalam rumusan delik Pasal tersebut.
Logika hukum tidak boleh menyatakan bahwa referendum sama dengan makar. Refendum itu referendum, makar adalah makar. Terpisah Prof.
Lagi pula Pasal 106 KUHP itu berhubungan dengan negara musuh atau negara lain. Tidak relevan.
Kasus Yogyakarta ketika masyarakat meminta referendum sebagai pilihan hukum adalah sa-sah saja. Pemerintahan SBY waktu itu ingin agar jabatan Gubernur dipilih. Rakyat masih ingin agar Gubernur ditetapkan. Muncul gagasan referendum untuk ditanyakan saja langsung kepada seluruh rakyat Yogyakarta apakah jabatan Gubernur itu “ditetapkan” atau “dipilih”.
Namun akhirnya sebelum ada referendum Pemerintah pun mengalah. UU keistimewaan Yogya disahkan. Referendum itu sah sah saja.
Demikian juga dengan referendum Timor Timur. Sah-sah pula, bukan makar. Justu referendum adalah jalan untuk mengatasi makar. Yang makar adalah gerakan untuk memisahkan diri dari negara. Apalagi dengan jalan militer.
Karenanya usulan referendum oleh tokoh Aceh saat ini bukanlah perbuatan makar. Jika ia teriak agar rakyat aceh melakukan gerakan (apalagi secara militer) memisahkan diri (separatisme) bergabung dengan negara lain barulah itu gerakan makar sebagaimana dimaksud Pasal 106 KUHP tersebut.
Jika pidato hanya mengingatkan untuk mendorong referendum maka hal itu tidak melanggar hukum. Menyeru suatu mekanisme atau produk hukum adalah sah secara hukum. Jika DPR RI setuju usulan itu, maka bisa dibuat UU. Jika MPR setuju jadinya Ketetapan MPR dan jika hanya Presiden yang setuju bisa dengan Perppu. Jika tak disetujui ya tentu tidak dijalankan referendum tersebut.
Substansi dari ide referendum di Aceh dan daerah lain adalah ketidakpuasan atas penyelenggaraan pemilu serta kebijakan pemerintahan Jokowi yang mengkhawatirkan. Negara bisa terjajah. Memang seharusnya mesti disadari bahwa kepercayaan masyarakat pada Pemerintahan Jokowi itu sangat merosot. Baiknya Jokowi tidak menjadi Presiden lagi. Demi bangsa dan negara.
Bandung, 1 Juni 2019
-Penulis adalah Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute