SALAM-ONLINE: Pada hari Minggu tanggal 30 Juni kemarin Joko Widodo ditetapkan KPU sebagai Presiden. Kemenangannya boleh disebut kontroversial. Di samping tudingan kecurangan, juga jejak darah masih tertinggal.
Kasus “pembiaran” meninggalnya hampir 700 petugas pemilu tak bisa dibiarkan. Mestilah diusut. Tak cukup sampai “meninggal kelelahan”. Hakim MK dan para pihak yang bekerja maraton, kadang semalaman, nyatanya tidak meninggal.
Aneh, desakan untuk menyelidiki kematian ini tidak dipedulikan Pemerintah. Selalu ditepis dan dihindari. Bahkan yang menduga-duga sebab kematian justru disalahkan dan diproses hukum. Ada apa sebenarnya di balik ini. Ada persoalan kemanusiaan serius yang seharusnya tak boleh diremehkan. Satu nyawa wajib dipertanggungjawabkan tuntas, apalagi sampai ratusan.
Demikian juga dengan peristiwa tragis 22 Mei 2019. Mencolok sekali pelanggaran HAM yang diduga melibatkan aparat. Presiden pun tidak mengambil kebijakan apa-apa. Ini pun bisa masuk “crime by omission”. Tak ada tindakan pencegahan, bahkan yang terjadi adalah pengambangan kasus. Pengaburan pun terjadi dengan tudingan makarlah, penembakan Jenderal-lah, hingga pengumuman bahwa korban seluruhnya adalah “perusuh”.
Aksi terjadi di depan Bawaslu, sedangkan korban meninggal “berceceran” di Tanah Abang, Petamburan dan Slipi. Seperti skenario. Konon dalang sudah diketahui. Tapi hingga kini tetap saja misteri. Brimobkah terduga utama atau pihak ketiga. Penyiksaan maupun penembakan merupakan pelanggaran HAM berat.
Presiden harus bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat. Ini konsekuensi tidak mundurnya Jokowi dari status sebagai Kepala Pemerintahan. Jika meninggalnya hampir 700 petugas Pemilu dan 9 orang dalam aksi 22 Mei 2019 itu menyangkut penanganan baik aparat maupun KPU yang tidak dilakukan langkah konkret oleh Pemerintah, maka Kepala Pemerintahan harus bertanggungjawab.
Komnas HAM, DPR RI, maupun lembaga HAM Internasional mesti turun membongkar dan menuntaskan kasus “korban Pemilu” ini. Ini bukan semata kelalaian, tapi bisa sampai pada kualifikasi kejahatan.
Pemilu sudah selesai. Jokowi bukan Capres lagi. Sekarang lanjut Presiden sampai Oktober pelantikan perpanjangan. Soal kecurangan menjadi PR politik dan “tagihan” lain. Tongkat komando yang tetap di tangannya selama Pemilu lalu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Benar atau tidaknya kewenangan dan kewajiban yang dijalankan.
Meskipun “menang” tapi belum waktunya bersenang-senang. Ada masalah besar 700 dan 9 nyawa manusia yang harus dijelaskan kepada seluruh rakyat kasus posisinya.
Ada sebuah karikatur masuk dalam Group WhatsApp. Seorang melìhat truk menurunkan mayat-mayat ke lubang hingga penuh, lalu orang itu berjalan menginjak mayat mayat yang memenuhi lubang tersebut menuju sebuah kursi yang ada di seberang lubang. Pas nampaknya.
Ia tak cukup berkata “Itu bukan urusan saya”, “Itu urusan Kapolri” atau “Oh, itu urusannya KPU”, ” Ah, tanya saja pada perusuh”, “Itu kerjaan dalang, tanya saja” atau “Masa’ saya ngurusin orang mati?” Atau berbahasa inggeris “Ask to my Minister!”
Akhirnya rakyat serempak menunjuk, “Pak, Itu urusan Bapak, urusan Presiden!” Nah bingung deh.
Presiden Jokowi memang mesti bertanggungjawab. Ini menyangkut hak asasi manusia, bukan cerita tentang bangkai hewan, meskipun bangkai tikus saja itu bau.
Kebusukan selalu tercium menyengat.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 1 Juli 2019