Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Santer di medsos agenda pertemuan Prabowo dengan Jokowi di bulan Juli. Kepastian belum terkonfirmasi. Dinamika politik selalu menarik. Meski kadang membuat leher tercekik atau kepala berputar putar, pening.
Tapi politik adalah hukum yang serba mungkin. Asal kata “policy” bermakna “kebijakan”, entah bijak sana atau bijak sini. Atau pijak sana pijak sini. Politik bisa bagian dari moral, bisa juga tak bermoral. Demi bangsa atau demi harta dan tahta. Politikus dapat menjadi negarawan atau menjadi tikus. Pencuri makanan dan penebar penyakit. Semua berkeliaran dengan motif masing masing, baik pribadi kelompok atau partai.
Pertemuan tidak selalu positif. Pertemuan silaturahim tentu wajar saja. Tetapi pertemuan Diponegoro dengan kolonial Belanda justru malapetaka. Jebakan politik.
Konon politik adalah tawar menawar para elite. Jika dijalankan maka dampak justru sangat terasa pada pendukung dan rakyat secara keseluruhan. Bagi elite selalu untung-untung saja. Sekurangnya jangka pendek.
Posisi Prabowo dilematis, di satu sisi mulai ada sandera berupa “goodwill” dilepasnya dari tahanan tokoh dan aktivis pendukung Prabowo-Sandi. Tentu tidak ada makan siang gratis. Kalimat terucap “terima kasih Prabowo” adalah berbiaya.
Di sisi lain Prabowo yang tetap merasa dicurangi ingin melanjutkan proses hingga Mahkamah Internasional. Relawan dan rakyat pendukung berharap lanjutkan perjuangan, tidak menyerah. Rekonsiliasi seperti rasional tapi sebenarnya tidak sederhana. Karena itu sama saja dengan pengakuan kekalahan diri atau kemenangan lawan.
Memang, Prabowo masih menggenggam kartu “kecurangan” untuk bargaining, akan tetapi “de jure” legalitas Jokowi menempatkan dirinya di atas angin. Perundingan merugikan Prabowo.
Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo bulan juli demi persatuan nasional sepertinya mulia, tetapi sebenarnya menggelisahkan, khususnya bagi pendukung dan pejuang penegak kedaulatan rakyat. Bisa saja dianggap sebagai pengkhianatan perjuangan. Karena tak ada porsi kedaulatan yang bisa dinegosiasi. Hanya kepentingan kelompok dan partai saja yang mungkin sukses.
Bubarnya koalisi belum berarti lepasnya beban Prabowo di meja perundingan. Untuk partai mungkin iya, tapi pendukung non partai urusan lain. Ya, itu karena masalah kedaulatan rakyat yang terancam dan tak mungkin dinegosiasi. Pemerintah Jokowi disinyalir akan semakin jauh dari wujud kedaulatan ini. Posisinya menjadi “to be or not to be”, yakni perlawanan diametral.
Terapi terbaik adalah tidak melakukan pertemuan demi rakyat. Prabowo melanjutkan perjuangan sebagai “Presiden de facto” sambil melangkah di kancah internasional.
Jokowi bukan tanpa kelemahan. Ada segudang persoalan yang menderanya. Yakin bahwa esok akan ada perubahan politik. Prabowo harus keluar dari sekadar Ketum Gerindra menjadi Ketum perjuangan rakyat yang berkelanjutan. Tak perlu ada pertemuan hingga Oktober.
Manuver masih bisa dilakukan. Politik itu sarat kemungkinan. Bertahan di keyakinan adalah kekuatan yang akan terus bergaung. Jangan lari dari kepentingan rakyat yang bermisi mulia untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara. Bertahan untuk menjadi pahlawan adalah “the only choice” satu satunya pilihan.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 5 Juli 2019