SALAM-ONLINE: Dari baja sampai garam, impor. Alasan bisa dibuat macam-macam. Yang menjadi fakta adalah semangat kemandirian rendah. Dan yang memprihatinkan lagi, merosotnya jiwa nasionalisme penyelenggara dan pemimpin negara.
“Saya Pancasila, saya Indonesia” berkata sandi “bulshit”. Para pedagang selalu berpikir untung. Namanya juga jual beli. Tapi mengelola negara ala pedagang sangat berbahaya. Nasionalisme pun bisa dijual bebas.
Rektor PTN tahun 2020 akan impor juga. Menristekdikti menyatakan Presiden sudah setuju. Alasannya kita butuh Rektor asing yang berkualitas. Sungguh alasan kualitas atau kualifikasi itu melecehkan kemampuan sumber daya negeri sendiri.
Kita merdeka sudah 74 tahun dengan hampir lima ribu Perguruan Tinggi, ironis jika harus mengimpor Rektor. Perguruan Tinggi Negeri lagi. Mengatur negara kok seperti bermain-main tanpa idealisme. Rektor asing mana paham ideologi. Faktor penting edukasi.
Komentar nyinyir beragam: setelah impor Rektor, impor Gubernur, lalu sekalian impor Presiden. Ejekan seperti ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut memang “berkualitas rendah”.
Pilpres berbarengan Pileg 2019 memakan biaya mahal hingga 25 Triliun. Hasilnya tidak istimewa, malah gonjang-ganjing. Belum lagi korban ratusan tewas. Sungguh dramatis.
Muncul pemikiran untuk kembali ke pemilihan oleh MPR, meski ini artinya semangat awal untuk berdemokrasi langsung harus dianulir. Kaitan dengan impor-imporan becandaan Presiden impor itu sebenarnya ada peluang setelah pasal 6 UUD 1945 “orang Indonesia asli” diamandemen. Hanya karena ada syarat harus WNI sejak lahir sedikit menyulitkan “perusahaan” importir.
Sekadar untuk memajukan Perguruan Tinggi, apalagi Negeri, rasanya tidak perlu sampai mengimpor Rektor. Lagi pula proses pemilihan rektor mesti melibatkan bagian dari civitas academica. Cukup tenaga Dosen saja. Bahwa adanya niat ingin memperkuat jaringan internasional, Kementerian Dikti dapat memfasilitasinya dengan maksimal. Jika perlu memiliki konsultan ahli asing. Lebih profesional dan proporsional.
Pemimpin puncak PTN asing akan menghambat komunikasi efektif. Beda budaya menjadi hambatan psikologis tersendiri. Atau Rektor asing itu diperlukan untuk merealisasikan program deradikalisasi? Jangan-jangan malah justru Rektornya yang liberal dan radikal, he he.
Moga Menristekdikti M Nasir diganti agar program impor-imporan Rektor menguap dengan sendirinya. Proposal untuk jadi Menteri lagi baiknya ditolak. Tidak terlalu menonjol prestasinya. Yang diprogramkan malah kontroversial. Soal radikalisme kampus-lah, rektor asinglah. Kita usulkan Pak Nasir jadi Rektor di luar negeri saja. Amerika, misalnya. Untuk membuktikan yang bersangkutan memang berkualitas dengan pikiran-pikiran cerdas dan cemerlang.
Berkelas dunia.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 3 Agustus 2019