Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Gaya kepemimpinan sensasional sudah mesti dilewati. Saat ini adalah waktu untuk membuktikan bahwa pemimpin mampu melaksanakan amanat rakyat.
Keinginan Ridwan Kamil memindahkan Ibu kota Jawa Barat mengikuti Jokowi bukan bukti kerja bagus, melainkan sensasi yang bisa bikin ribut.
Suatu ide yang dilempar membutuhkan momen. Baru jadi Gubernur sudah melempar kontroversi. Kerja dulu yang baik sehingga rakyat Jawa Barat percaya dan sang Gubernur punya wibawa. Bukan seperti Jokowi yang selalu jadi objek bully dan komen yang merendahkan. Rakyat tak bisa disalahkan, karena, itu akibat dari ulah sendiri.
Seperti Jokowi, kemenangan Emil tidak mutlak, bahkan hanya mendapat support 32 % pemilih. Sebanyak 68 % lainnya bukan pendukung Emil. Karenanya tugas pertama adalah membangun kinerja sehingga dukungan menjadi maksimal. Jika telah tumbuh kepercayaan, baru program pembangunan Jawa Barat akan ditopang positif. Bukan bikin isu yang tak perlu.
Pemindahan ibu kota ala Jokowi tentu berimbas. Karena mengambil momentum yang sama. Tidak clearnya pemindahan ibu kota ke Kalimantan, maka ketika Emil canangkan pindah ke Walini, Tegal luar atau Rebana juga akan tidak clear. Gonjang ganjing yang sama bisa terjadi. Papua rusuh juga bagian dari “gonjang ganjing” tersebut.
Jawa Barat mesti waspada dan hati hati. Gubernur adalah pengarah dan penyelesai masalah. Termasuk peredam dampak Pusat, bukan pembuat masalah baru.
Sesuai janji waktu hendak menjadi Gubernur, Emil menyoroti pembenahan birokrasi, pengembangan ekonomi desa “satu desa satu perusahaan”, apartemen buruh di kawasan industri, destinasi wisata baru, infrastruktur jalan di pedesaan dan lain lainnya.
Apa yang dijanjikan kerjakan saja dulu. Tidak ada janji soal pemindahan ibu kota Jawa Barat. Mungkin jika ini dikampanyekan Emil belum tentu terpilih. Penolakan masyarakat Jawa Barat mungkin besar. Yang ada justru soal pemekaran daerah. Walini, Rebana atau lainnya jadikan dulu destinasi wisata, setelah maju atau berkembang baru jadi opsi untuk ibu kota. Sayangnya, ini “ujug ujug”.
Sebenarnya yang dijanjikan belum dikerjakan optimal. Yang tidak ada malah dimunculkan. “Ulah program sahayuna kitu atuh Pak Gubernur”.
Pindah Ibu kota perlu matang. Bandung adalah kota bersejarah. Ada “perjuangan” Bandung Lautan Api, Gedung Sate yang monumental, Gedung Merdeka tempat Konferensi Asia Afrika, dan lainnya. Belum lagi kesebelasan kesayangan, Persib, atau Kota Kembang dan Parijs Van Java.
Sebagai warga Bandung tentu akan berjuang untuk mempertahankan status Ibu kota Jawa Barat. Perlu juga dipertimbangkan begitu pindah, jangan-jangan Cirebon minta jadi Provinsi. Begitu juga dengan semangat “lepas” Bekasi dan Depok.
Jadi Kang Emil, berakit-rakit ke hulu, berenang renang ke tepian. Kerjakan dulu apa yang dijanjikan, pindah Ibu kota kemudian. Mugi janten perhatosan, Pak Gubernur. Hatur nuhun.
*) Pemerhati Politik
30 Agustus 2019