Erdogan Jamu Putin dan Rouhani untuk Putaran Baru Pembicaraan Suriah
ANKARA (SALAM-ONINE): Presiden Turki akan menjadi tuan rumah bagi rekan-rekannya dari Rusia dan Iran di Ankara. Pertemuan pemimpin Turki, Rusia dan Iran itu digelar untuk membahas perkembangan di Suriah yang dilanda perang. Pasukan rezim Basyar Asad yang didukung Rusia melanjutkan serangannya untuk merebut kembali Idlib, benteng besar terakhir pejuang Suriah.
Recep Tayyip Erdogan, Vladimir Putin dan Hassan Rouhani diperkirakan akan menggelar pertemuan sebelum pertemuan puncak pada Senin untuk membahas konflik Suriah—pertemuan kelima sejak 2017. Mereka akan mengadakan jumpa pers untuk mengeluarkan deklarasi bersama.
Iran dan Rusia menjadi pendukung setia rezim Asad. Kedua negara tersebut membantu rezim Asad untuk mendapatkan kembali kendali atas sebagian besar wilayah yang hilang dalam perang yang berlangsung lama. Sementara Turki mendukung berbagai faksi oposisi.
Dengan posisi rezim Asad yang nampak semakin aman, prioritas Ankara telah bergeser. Turki tengah fokus mencegah gelombang besar pengungsi dari Idlib di barat laut Suriah, Jamal El Shayyal dari Al Jazeera, melaporkan dari Ankara, Senin (16/9/2019).
Bagi Turki, masalah pengungsi Suriah lebih sering “menjadi berita utama”, kata Shayyal.
“Itu telah menjadi bagian dari wacana politik domestik,” lapornya.
Dan seperti Rusia, Iran “menghabiskan banyak uang dan sumber daya” untuk mendukung rezim Asad di Suriah, Shayyal menambahkan.
Turki juga prihatin dengan kemajuan terus-menerus pasukan rezim Suriah ke wilayah tersebut, didukung oleh kekuatan udara Rusia. Serangkaian perjanjian gencatan senjata dinilai rapuh.
Turki memiliki 12 pos pemantau di Idlib untuk menegakkan perjanjian zona penyangga yang dibuat setahun lalu dengan Rusia. Kesepakatan itu dibuat untuk mencegah serangan paasukan rezim Asad berskala penuh. Juga untuk menghilangkan kekhawatiran akan bencana kemanusiaan.
Bulan lalu, pasukan rezim Asad mengepung pejuang oposisi dan sebuah pos pemantau Turki dalam suatu tindakan yang menurut Ankara mengancam keamanan nasionalnya. Tak lama setelah itu, Erdogan dan Putin sepakat dalam pembicaraan di Moskow untuk “menormalkan” situasi di kawasan tersebut. Bahkan Presiden Turki memperingatkan bahwa setiap serangan rezim Suriah terhadap pos-pos pemantau itu akan mendapat balasan dari pasukan negaranya.
Namun, serangan terus berlanjut meskipun kedua pemimpin itu menjalin hubungan yang lebih dekat.
Ketakutan akan masuknya pengungsi
Pada akhir April 2019, pasukan rezim Suriah, yang didukung oleh Rusia sejak 2015, memulai serangan di wilayah barat laut yang strategis, yang mencakup jalan raya utama yang menghubungkan ibu kota Damaskus dengan kota utara Aleppo.
Serangan udara Rusia terus berlanjut di wilayah yang dihuni sekitar tiga juta orang itu, meskipun ada kesepakatan gencatan senjata terbaru antara Ankara dengan Moskow pada 31 Agustus lalu.
PBB mengatakan sedikitnya 500.000 warga Suriah mengungsi di dekat perbatasan Turki. Banyak dari mereka telah terlantar secara internal dari daerah-daerah yang sebelumnya direbut oleh pasukan yang setia kepada Asad.
Kepresidenan Turki mengatakan, Turki, Rusia dan Iran pada Senin akan membahas perkembangan terbaru di Suriah serta “memastikan kondisi yang diperlukan untuk kembalinya para pengungsi secara sukarela dan membahas langkah bersama yang akan diambil dalam periode ke depan dengan tujuan mencapai solusi politik yang langgeng”.
Erdogan sebelumnya memperingatkan negaranya dapat membuka kembali rute bagi para pengungsi dan migran ke Eropa jika tidak menerima dukungan internasional yang memadai demi mengatasi jutaan pengungsi di Turki.
Dia juga mengatakan bahwa Ankara berencana untuk memulangkan kembali satu juta pengungsi Suriah di timur laut Suriah, wilayah di mana Turki dan Amerika Serikat bekerja sama untuk membentuk apa yang disebut sebagai “zona aman”.
Sementara itu, Moskow ingin melihat kemajuan dalam pembentukan Komite Konstitusional untuk mengawasi tahap selanjutnya dari penyelesaian politik di Suriah. (mus/salam)
Sumber: Al Jazeera