Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Hari ini, 30 September 2019, mengingatkan kita 54 tahun yang lalu saat terjadi percobaan kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan yang sah Soekarno. PKI mencoba untuk kesekian kalinya mengganti ideologi negara. Dengan dukungan perwira dari berbagai angkatan penggulingan diupayakan serapi mungkin.
Misteri keterlibatan Soekarno belum terjawab. Korban TNI dan rakyat berjatuhan. Komunis memang radikal dan brutal. Lubang buaya menjadi saksi sejarah hitam sebagai monumen untuk setiap generasi.
Ada tokoh yang “mempersetankan” sejarah seolah bosan dari tahun ke tahun PKI lagi PKI lagi. Padahal PKI sudah terkubur sejarah. Yang bersangkutan “dijewer” saja dengan diingatkan bahwa di Jerman juga setiap tahun diperingati peristiwa kekejaman Nazi sebagai pelajaran agar tak terulang lagi peristiwa buruk tersebut. Sebagai upaya pula untuk menjadikan bangsa selalu menggoreskan sejarah emas yang akan dikenang oleh generasi mendatang. Bukan sejarah hitam.
Al-Qur’an di samping menampilkan peristiwa masa lalu dan menuangkan berulang-ulang, juga mengingatkan akan fungsi sejarah, yaitu sebagai penguat keyakinan (nutsabbitu bihii fuaadaka), memahami kebenaran (wa jaa aka fii haadzihii al-Haq), pelajaran (mau’izhoh) dan peringatan (dzikro)—QS Huud 120.
Jadi sejarah itu tentu sangat berguna. Bukan untuk “dipersetankan” sebagaima ungkapan orang jahil. Orang bijak dan pintar akan selalu banyak belajar dari sejarah.
PKI yang bersendi pada ajaran komunisme marxisme/leninisme adalah terlarang. Menyebarkan ajaran komunisme, marxisme dan leninisme juga terlarang. Ketetapan MPRS XXV/1966 mengatur dengan tegas larangan tersebut.
Komunisme adalah paham yang tidak bisa ditoleransi karena berbahaya bagi keutuhan negeri. Kerja sama dengan Partai Komunis negara mana pun akan membuka peluang tumbuh dan berkembangnya kembali PKI dan ajaran komunisme, marxisme dan leninisme. Siapa pun yang membuka peluang maka ia adalah pengkhianat bangsa dan negara. PKI dan komunisme tidak mati atau terkubur.
Sudisman, anggota Polit Biro PKI pimpinan DN Aidit, membacakan pledoi di Sidang Mahmilub sewaktu dituntut hukuman mati pada 1967. Dia menyampaikan kalimat yang menjadi “warning” bagi kita semua yang berada di zaman kini.
“Jika saya mati sudah tentu bukannya PKI ikut mati bersama kematian saya. Tidak, sama sekali tidak. Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap yakin bahwa ini bersifat sementara. Dan dalam proses sejarah nantinya PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman,” kata Sudisman.
Kini yang dirasakan rakyat, PKI itu memang ada dan menyusup. Jika ada pejabat atau siapapun yang “ngotot” menyatakan bahwa PKI itu sudah tidak ada di Indonesia, perlulah diwaspadai. Jangan-jangan dia adalah bagian dari kader atau agen jaringan PKI. Sudisman telah memberi sinyal. Artinya kita harus tetap waspada.
*)Pemerhati Politik
Bandung, 30 September 2019