Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: “Ahok” bukan suara batuk. Akan tetapi batuk politik bisa bersuara “Ahok”. Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang sempat menggantikan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta itu dihukum karena penodaan agama. Ia Gubernur dan tokoh politik yang dikenal seenaknya, emosional, dan kena batunya ketika dinilai menghina ayat Allah QS Al Maidah 51.
Dilapaskan di Mako Brimob tempat aneh untuk “terhukum”. Tentu menjadi catatan sejarah buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kini setelah bebas, isu Ahok bahkan bermunculan. Ada isu Ahok akan gantikan Ma’ruf Amin. Ada juga wacana Ahok akan ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Maklum dunia politik selalu ramai. Benar atau tidak semua itu masih menunggu pembuktian. Menunggu itu penting agar cerita Ahok ini tidak menjadi hoaks.
Meskipun demikian, analisa juga muncul. Yang aktual adalah soal Ahok yang akan menjadi Dewan Pengawas KPK. Mungkinkah? Ini pertanyaannya. Jawabannya bisa mungkin bisa juga tidak. Mungkin, jika Jokowi “nekat” untuk mempromosikan sahabat dan mantan Wakil Gubernurnya itu. Membersihkan dan menghidupkan karir politik Ahok. Bukankah penjara itu adalah tangga naik karir politik? Soekarno dan tokoh lain telah mencontohkan.
Tapi tidak mungkin, karena, itu akan merugikan Jokowi ke depan. Ahok dipenjara bukan kasus politik seperti Soekarno, tetapi “penodaan agama” seperti Arswendo, Lia Eden, dan lainnya. Jadi tak bisa disamakan dengan Soekarno.
Ahok menjadi Dewan Pengawas KPK tentu rawan dari sisi “track record”nya yang dinilai “tidak bersih” dari dugaan korupsi sebagaimana buku yang ditulis Marwan Batubara. Sebagai Wakil Gubernurnya Jokowi dan saat menjadi Gubernur DKI, Presidennya adalah Jokowi, maka tentu rentan akan rentetan dan keterkaitan.
Terlalu naif jika Jokowi berani “dengan otoritas” sendiri menunjuk Ahok. Jokowi akan menjadi tembusan dari peluru yang diarahkan pada Ahok. Banyak titik lemah Ahok yang memungkinkan ia “ditembak” publik atau lawan politik. Sniper pun sedang menunggu munculnya politisi “nyeleneh” ini.
Yang masih menggema dan menggelora adalah kekuatan 212. Inilah gerakan moral yang “menjatuhkan” Ahok dari kursi Gubernur. Menyebabkan Ahok akhirnya dikalahkan dan menjadi pesakitan.
Kekuatan 212 masih sangat potensial untuk mengaum kembali. Kemunculan Ahok akan membangunkan macan tidur umat Islam. Ahok telah menjadi stigma “musuh” umat.
Nah kini pertaruhan bagi diri Jokowi apakah ia akan berpikir pendek atas dasar pertemanan atau berpikir panjang menyangkut kebaikan bangsa. Semua keputusan berdampak. Tapi dampak minimal tentunya dengan tidak menunjuk Ahok. Mengangkatnya sama saja dengan meniup bara menjadi api.
Ahok maupun pendukung jangan terlalu berharap atau bermimpi terlalu jauh. Karena menghidupkan Ahok sama saja dengan menghidupkan kekuatan anti Ahok dan itu jauh lebih besar dan kuat. Ahok akan terus jadi bulan-bulanan politik dan Jokowi sulit untuk memproteksi. Pengalaman lalu telah memberi pelajaran.
Pak Ahok, Anda telah dilindungi oleh hukum. Rakyat semua tahu. Pak Ahok, kasus korupsi masih membuntuti. Pak Ahok adalah teman kunci Pak Jokowi. sebaiknya Pak Ahok istirahat dulu, menikmati kehidupan berumah tangga. Jangan dulu ambisi ingin menggapai banyak kursi. Karena satu kursi pun belum siap untuk diduduki, apalagi untuk Dewan Pengawas urusan Korupsi. Belum pantas, Pak. Belum pantas.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 6 November 2019