Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Setelah Hendropriyono mengusulkan kepada Ketua MPR Bambang Soesatyo agar masa jabatan Presiden itu 8 tahun, kini ada usulan pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono bahwa Pasal 7 UUD 1945 hendaknya diamandemen agar masa jabatan Presiden bisa tiga periode. Diakui, ini untuk keperluan Jokowi menuntaskan programnya, termasuk persoalan pindah ibu kota Negara.
Usulan seperti ini dinilai mengada-ada. Tidak rasional dan sangat subyektif. Apa prestasi Jokowi untuk bisa menjabat tiga, empat atau lima periode?
Satu periode saja sudah gonjang-ganjing negeri ini. Belum lagi isu kecurangan Pilpres yang lalu masih membekas. Andai Prabowo tidak mengibarkan bendera putih tanda “kalah” mungkin persoalan menjadi lain. Jokowi akan tetap disorot dalam kaitan hasil Pilpres.
Soal perubahan dan perpanjangan masa jabatan Presiden untuk Jokowi ini kita bisa menengok peristiwa mundurnya Presiden Bolivia Evo Morales. Ia menjabat empat periode dengan mendobrak aturan hukum yang ada.
Mahkamah Konstitusi Bolivia berhasil “diatur” untuk mengubah pasal Konstitusi melepas “pembatasan masa jabatan”. Hasilnya pemilu Pilpres curang dan curang lagi. Morales akhirnya tak berkutik didemo oleh rakyatnya sendiri. Dia terpaksa mengundurkan diri. Untung masih diberi suaka oleh negara Meksiko. Tragis.
Tiga periode Jokowi dikhawatirkan akan ada gerakan program “Islamofobia”. Isu radikalisme yang tak jelas dapat membantai konsistensi beragama. Toleransi menjadi campur aduk dan sekularisasi akan masif dikendalikan oleh kaum pendompleng anti Islam.
Tiga periode bisa menambah jumlah pekerja Cina yang datang ke Indonesia lebih spektakuler. Menambah pula jumlah pengangguran pribumi. Bonus demografi dengan “disguised unemployment” meningkat. Kartu prakerja mesti dicetak berlipat ganda.
Tiga periode hutang luar negeri semakin berjibun dan menenggelamkan. Penjajahan modern bukan lewat militer, tetapi dengan hutang. Bukan saja kita tak bisa mengangkat muka, tetapi juga harus menyerahkan semua harta negara, tanah, air, hutan, atau tambang. Untuk bayar bunga terpaksa pajak rakyat dinaikkan. Begitu juga dengan bensin, listrik dan bea-bea lain.
Tiga periode, lahan pertanian rakyat semakin habis, buah-buahan busuk, padi tak laku, dan home industry berantakan karena diterjang badai impor. Mengerikan, jika ternyata yang mampu diekspor cumaTKW.
Janganlah tambah-tambah tiga periode. Nanti minta empat periode lagi. Lalu ujungnya “negara adalah aku”. Repotnya jika “si aku” adalah pedagang. Maka, khawatirlah dijual semua, apakah aset BUMN, jalan tol, bangunan negara, atau lahan-lahan strategis.
Selamatkan Negara dari kerakusan kekuasaan. Mereka hendak mengacak-acak Konstitusi.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 14 November 2019