Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Di periode kedua ini orang di lingkaran Presiden Joko Widodo “berterimakasih” dan berlomba-lomba melakukan jilatan politik. Asumsinya bahwa Presiden bisa dua periode berarti “hebat”. Bahkan spiritualis bisa saja menganggap “sakti mandraguna”.
Tentu tidak bagi lawan atau pengkritiknya. Dikatakan “penjilat”, jika dukungan atau bantuan ataupun sikap terhadap Presiden berlebihan. Di luar kewajaran.
Semua tahu tentang Putra Jokowi Gibran Rakabuming Raka, anak muda pengusaha, tidak memiliki pengalaman politik. Kini “didorong” untuk maju dalam kompetisi Pilwalkot Solo. Didukung oleh banyak partai.
Yang mengejutkan adalah dukungan Gerindra dan konon (semoga tidak benar) PKS yang biasanya mencalonkan sendiri pasangannya. Orang bertanya-tanya. Ada keanehan dalam dukungan “rame-rame” pada sang putra Presiden ini. Berhubungankah dengan masuknya Gerindra dalam “Koalisi” Jokowi? Lebih menukik, ikutnya “Duo Prabowo” di Pemerintahan Jokowi?
Dalam politik memang serba bisa. Tetapi di luar kewajaran bila Partai yang biasa berlawanan, tiba tiba “all out” berbalik mendukung. Menjilatkah?
Yang lebih mengenaskan adalah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengusulkan agar varietas anggur yang ditemukan diberi nama “Jan Ethes SP1”, mengambil nama dari cucu Jokowi atau putra Gibran. Alasannya, lucu, lincah dan lainlah. Anggur kok lucu dan lincah. Ini kentara sekali jilatan politiknya. Berlomba mendekat pada Jokowi.
Kita jadi teringat tukang sihir Fir’aun ketika meminta upah jika menang melawan Musa. Upah tertinggi adalah “dekat” dengan Raja. Jawaban Fir’aun, “Na’am wa innakum idzan laminal muqarrabiin” (Benar, sesungguhnya kalian akan menjadi “orang dekat”ku)—QS Asyu’araa 42.
Dekat dengan Raja bisa dapat fasilitas dan banyak prioritas. Inilah bahaya berlama lama jadi Raja ataupun Presiden. Satu, dua, tiga periode atau seumur hidup.
Kultus akan terbentuk. Fir’aun sudah sampai tahap (mengklaim sebagai) Tuhan. Haman (Panglima), Bal’am (Agamawan) dan Qorun (Pengusaha) merasa nyaman berada di dekat Fir’aun. Mereka menjadi elite yang senantiasa membentengi dan menjilati. Fir’aun kuat, mereka merajalela. Ketika Fir’aun hancur semua ikut hancur. Demikian risiko berada dalam suatu “maqom” rezim.
Nah, kembali kepada para penjilat kekuasaan, sebaiknya menimbang dahulu perasaan masyarakat atau rakyat. Jangan sekadar memikirkan karir dan uang.
Dulu Iwan Fals pernah membuat lirik lagu:
“… Jadi penjilat yang paling tepat. Karirmu cepat uang tentu dapat. Jadilah Durna jangan jadi Bisma. Sebab seorang Durna punya lidah sejuta…”
Perumpamaan dalam Al-Qur’an adalah hewan anjing yang mengeluarkan air liur dan menjulurkan lidah. Penuh hasrat meski dengan menjilat. Rasulullah menyebut pencari muka sebagai “dzal wajhain” pemilik dua wajah. Dan itu adalah seburuk buruk manusia “Innaa min syarrin naas”.
Penjilat politik merupakan makhluk yang hina dina dan tak punya marwah.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 19 November 2019