Catatan M Rizal Fadillah*
Drama pendek di SMKN 57 Jakarta yang diperankan oleh Menteri Erick, Nadiem dan Wishnutama sepertinya kreatif, tapi lebih dekat kepada mengada-ada. Ketika Menteri berakting memakai seragam sekolah jadi terbayang peran “Sule” atau “Tessy”.
Tema anti korupsi dengan peristiwa mau bayar bakso pakai kas sekolah, kuliah anak pejabat, dan terlambat masuk kelas terlalu sederhana. Meski Presiden mengapresiasi. Tetapi tetap kurang pas.
Menteri Nadiem yang belum terlihat prestasi kerjanya baru saja disorot soal “penampilan” pakaian yang tidak menghormati acara resmi pelantikan Rektor UI. Jika dianalogikan dengan “korupsi waktu” maka yang dilakukannya adalah “korupsi adab” atau “korupsi sopan santun”.
Sementara Erick Thohir yang sukses memecat Ari Ashkara juga bernuansa “nepotisme” karena baru saja memasukkan Ahok “kroni penguasa” menjadi Komisaris Utama Pertamina.
“Pesan bakso 1, pake akhlak,” kata Wishnutama. Candaan yang “nyerempet” agama. Akhlak itu ada yang baik dan ada yang buruk. Contoh akhlak buruk adalah pilihan Presiden yang tidak memenuhi undangan KPK di hari anti korupsi dan lebih memilih nonton drama Menteri yang jadi anak sekolah-sekolahan.
Nampaknya Pemerintah sedang salah memilih prioritas. Korupsi itu banyak dilakukan bukan oleh anak sekolah SMK. Tetapi oleh Pejabat yang mungkin Menteri atau Presiden. Anggota Dewan juga tidak sedikit. Ini diawali oleh kolusi atau nepotisme yang dilakukan para pengusaha. Teman-teman para Menteri, misalnya. Mereka sering “minta order” dari pejabat.
Justru anak sekolah dan mahasiswa-lah yang sering melakukan kritik dan aksi atas perilaku “korupsi meski tanpa prestasi” bukan “prestasi tanpa korupsi” sebagaimana tema sandiwara. Sayangnya pak Presiden lebih suka menonton sandiwara ketimbang datang ke tempat pemberantasan korupsi yang nyata, KPK.
Nah kini tak terbayang jika ke depan para pemain dan pejabat penonton sandiwara ternyata menjadi pesakitan karena kasus korupsi.
Sebaiknya tak perlu menunjuk dan mendidik orang agar tak korupsi. Lebih baik memproteksi diri agar jabatan “rawan” sebagai Presiden dan Menteri tidak menjadi sarana untuk memperkaya diri atau orang lain dengan cara yang tak halal alias korupsi.
Hari anti korupsi bukan hanya sehari. Akan tetapi sepanjang hari. Godaan untuk korupsi yang datang setiap hari mesti dibentengi. Jangan salah, pesan bakso pakai akhlak, seharusnya ya pakai uang. Masalahnya budaya pejabat dan pengusaha kini sering pesan uang dengan bertopeng akhlak. Sok berakhlak baik, sebenarnya penipu dan perampas bakso. Bakso yang bernilai miliaran atau triliunan.
“Selamat hari korupsi,” kata koruptor sejati yang berjas dan dasi, sambil ongkang-ongkang kaki duduk nyaman di atas kursi. Memproteksi diri dan sok suci, lalu berteriak, “Waspadai radikalisme dan intoleransi!”
*) Pemerhati Politik
Bandung, 12 Desember 2019