Oleh: Athian Ali M Da’i*
SALAM-ONLINE: Ketika Menteri Agama menyatakan, “Saya bukan Menteri Agama Islam”, terus terang saya angkat jempol. Karena, sejatinya Menteri Agama berkewajiban menangani dan mengayomi semua Agama yang diakui resmi oleh Negara, sehingga setiap warga negara memiliki peluang untuk dapat memahami dan melaksanakan keyakinannya.
Namun menyimak berbagai Peraturan Menteri Agama akhir-akhir ini, jempol yang semula saya angkat tinggi mengacung ke atas, kini menukik dengan sendirinya ke bawah. Bagaimana tidak? Berbagai kalangan menilai bahwa pernyataan, aturan dan “kebijakan” Menag umumnya dianggap “Kurang bijak” bahkan “tidak tepat”.
Para Ulama, pimpinan ormas-ormas Islam, harokah, partai politik yang berbasis umat Islam seperti PKS dan PKB dan juga bahkan tokoh-tokoh Islam yang selama ini dikenal berpikiran liberal dan sekuler sekalipun, ikut mengkritik pedas dan menuntut “kebijakan” tidak bijak tersebut. Salah satu di antara peraturan yang membingungkan serta meresahkan umat Islam, yakni PMA nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Peraturan Menag ini diminta segera dicabut.
Wajar kiranya jika umat kini balik berpikir dan bertanya, jangan-jangan pernyataan Pak Menteri Agama diawal pemerintahannya, bahwa yang bersangkutan bukan “Menteri agama Islam” hadir dalam mafhum “yang lain”. Karena terbukti kemudian “hanya umat Islam” yang menjadi sasaran tembak. Yang kini merasakan sesak nafas karena selalu disudutkan dengan berbagai tuduhan: “Terorisme, radikalisme, intoleran”, dan sebagainya.
Juga hanya siswa-siswi Islam saja yang akan dibatasi haknya untuk mempelajari dan memahami sebagian dari ajaran agamanya, khususnya tentang jihad dan khilafah.
Padahal, kalaupun benar ada beberapa orang dari umat Islam yang kurang tepat dalam memahami apa yang dimaksud dengan Khilafah dan Jihad, apakah benar pemahaman yang kurang tepat itu mereka peroleh di bangku sekolah?
Lagi pula, bukankah akan lebih baik setiap-siswa siswi diberikan pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud dengan khilafah dan jihad, sehingga kelak para siswa tersebut tidak akan terpengaruh jika di luar sekolah ada yang mengartikan jihad dengan pemahaman yang sempit dan salah.
Akankah nanti siswa-siswi juga bakal dilarang untuk membaca Al-Qur’an dan Al-Hadist yang terkait dengan khilafah dan jihad?
Sebelumnya, umat Islam sudah cukup dibuat resah oleh isu radikalisme yang liar tanpa definisi jelas, sehingga hadir di tengah-tengah masyarakat bagaikan hantu yang tidak jelas wujud, bentuk dan rupanya. Tapi sangat menakutkan.
Kendati akhirnya sedikit nampak jelas rupa dan bentuknya, ketika digambarkan dalam wujud pria bercelana cingkrang dan berjenggot serta wanita yang bercadar.
Radikalisme dalam wujud seperti ini, bukan hanya saja membingungkan umat dan membuat gusar mereka yang megenakan ciri-ciri tersebut. Tapi juga mengundang reaksi para Ulama yang tidak bercelana cingkrang dan berjenggot panjang serta istri mereka yang tidak bercadar.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana mungkin ada sebuah aturan dibuat untuk membatasi hak setiap warga negara untuk melaksanakan ajaran agama yang diyakininya? Sementara hak tersebut dijamin Undang Undang di Negeri ini ?
Karenanya, sebelum segala sesuatunya terlambat dan berakibat fatal, saya sampaikan saran dan masukan kepada Saudara Menteri Agama sebagai berikut:
Pertama, Agama bukanlah ilmu pengetahuan hasil nalar manusia yang bersifat nisbi, yang mungkin benar dan sangat mungkin salah.
Agama merupakan Manhaj al-Hayat, ‘pedoman hidup’ yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Rasul-Nya sebagai Hudan (Petunjuk) agar manusia menempuh jalan yang benar sehingga dapat menggapai kebahagiaan hidup dunia-akhirat.
Karena bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Tahu dan Pemilik segala sifat Maha, maka kebenarannya bersifat absolut, mutlak wajib diyakini oleh setiap pemeluknya.
Kedua, misi utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah menyempurnakan akhlak manusia. Karenanya, dengan melaksanakan ajaran Islam, seseorang akan memiliki akhlak mulia yang bermanfaat untuk dirinya, juga bagi keluarga, masyarakat dan Negara. Karena itu, justru tugas Menteri Agama untuk mengantarkan setiap warga negara agar memiliki pengetahuan Agama (Islam) yang kaaffah dan mengamalkannya dalam kehidupan.
Ketiga, Agama adalah sesuatu yang sangat sakral bagi pemeluknya. Karenanya, dia harus ditangani oleh orang yang “beragama” dalam pengertian memahami, menghayati dan menjiwai ruh yang ada dalam ajaran Agama.
Adalah bijak, jika Saudara Menteri Agama berhati-hati dalam menetapkan aturan dan kebijakan. Selemah apa pun seekor semut akan berusaha menggigit jika diinjak. Sesabar apa pun orang yang beragama menurut Prof Din Syamsudin, bisa saja berubah menjadi radikal jika ia selalu merasa ditekan dan direnggut kebebasannya untuk beragama.
Keempat, Seyogianyalah Pemerintah menciptakan suasana yang tenang dan kondusif di negeri ini. Berdialoglah terlebih dahulu dengan para Ulama, pimpinan ormas-ormas Islam, sebelum menetapkan aturan yang terkait dengan hak warga negara untuk beragama di negeri ini, agar tidak membuat keresahan dan kegaduhan.
Kelima, para pemimpin yang adil adalah sosok manusia yang sangat dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di Akhirat nanti mereka akan dimuliakan Allah Subnahu wa Ta’ala sebagai kelompok pertama dari tujuh golongan manusia yang akan memperoleh perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya jika berbuat zalim, maka kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mereka akan menjadi yang pertama pula dari enam kelompok umat Islam yang masuk neraka jahannam tanpa hisab.
Selamat bertugas, semoga kehadiran Saudara sebagai Menteri Agama ke depan bisa lebih bijak dan adil, sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh semua orang yang beragama di Republik yang sama-sama kita cintai ini.
*) Penulis adalah Ketua Umum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), tinggal di Bandung