Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Presiden Soeharto dulu dilantikt kembali menjadi Presiden oleh MPR pada 11 Maret 1998 setelah Pemilu di tahun 1997. Banyak suara yang menganjurkan agar Pak Harto tidak melanjutkan kepemimpinannya. Dirasakan sudah cukup menjabat dan agar dapat mengakhiri dengan baik.
Akan tetapi beberapa pembisik mendorong agar Soeharto terus memimpin. Bisikan maut “rakyat masih membutuhkan Pak Harto” menyebabkan “racun” tersebut akhirnya diminum.
Pada Mei 1998 terjadilah gelombang aksi yang tak terprediksi. Ketidakpuasan rakyat memuncak dan Pak Harto tak mampu mengendalikan kondisi ekonomi. Akhirnya semangat reformasi berhasil menjatuhkan Bapak Jenderal dari singgasananya.
Kekuasaan telah menemukan momen untuk akhir ajalnya. Turun dengan tragis dalam proses tuntutan hukum. Karena pertimbangan kesehatan maka penuntutan terhenti. SKP3 dikeluarkan.
Presiden Joko Widodo, dengan berbagai upaya, terpilih untuk kedua kalinya pada 2019. Indikasi curang yang melibatkan KPU berproses hingga sidang MK. Namun MK membuldozer gugatan pasangan Prabowo-Sandi. Pasangan nomor urut 02 itu dikalahkan dengan telak. Prabowo menyerah dan siap “mengabdi” sebagai Menteri.
Setelah Joko Widodo dilantik, KPK dilemahkan dengan Revisi UU lembaga anti korupsi tersebut. Nyatanya memang KPK lumpuh. Menghadapi kasus suap PDIP saja nampaknya KPK belepotan. Upaya Menangkap Harun Masiku berputar-putar. Cerita membosankan.
Kini tahun 2020 penuh dengan misteri. Misteri untuk berapa lama bertahan. Orang dekat Presiden sudah mulai goyah. Moeldoko Ketua KSP ditarget Jiwasraya. Erick Thohir menteri BUMN meramal dirinya tidak akan lama menjadi menteri. Sri Mulyani bongkar rahasia soal sakit perut dan janji palsu Joko Widodo saat kampanye. Yasonna siap-siap mundur terbentur Sompy. Deni Siregar sang pemuja Jokowi membuat sensasi dengan bernyanyi mengecam para menteri. Menyebut kinerja Jokowi di periode ini lebih buruk.
Peristiwa masa Pak Harto mungkinkah akan terulang, yakni menteri-menteri yang berlepas diri? Balik badan menyelamatkan diri. Megawati tersinggung dengan langkah KPK yang mengejar kader dan melawan dengan menusukkan pedang Jiwasraya ke Istana.
Jokowi adalah figur lemah. Kekuatannya ada di lingkaran orang-orang yang berebut menjadi penentu.
Ketika pembantu tak mampu diarahkan, para menteri berjalan sendiri, pendukung rakus menikmati kue di berbagai posisi, maka sinyal akhir kekuasaan semakin mendekat. Jika andalan rezim Jokowi di periode kedua adalah Cina, maka kini Cina sedang bermasalah. Virus Corona menjadi lawan prioritas. Jokowi coba melompat ke sana-sini hingga Timur Tengah. Tapi itu bisa tak berarti. Ia sudah terkepung dari semua sisi.
Cina bisa marah karena merasa dikhianati. Ia coba menggertak dengan manuver coast guard di kepulauan Natuna. Namun sang virus terlalu cepat datang hingga konsentrasi menjadi hilang. Situasi domestik rawan dan perlu penanganan. Xi Jinping mulai seperti orang sinting. Panik, warganya diusir-usir. Etnis Cina dibenci dan “ditakuti” karena sumber dan penyebar penyakit.
Angka 2020 tahun rawan bagi rezim. Analis moderat sudah sampai pada pernyataan “tidak akan kuat hingga 2024”. Sementara angin bertiup tak terduga. Jiwasraya menjadi pembuka malapetaka bagi istana. Kasus semakin banyak terbuka. Rakyat gelisah tak jelas akan dibawa ke mana oleh sang pemimpin. Bisa-bisa 2020 menjadi tahun Jokowi “hands up” tak mampu berdiri lagi.
Rakyat tentu berpikir mencari opsi yang trebaik. Negeri tak bisa dibiarkan tenggelam bersama kerakusan para penikmat kekuasaan.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 10 Jumadil Akhir 1441 H/5 Februari 2020 M