Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Setelah pikiran memindahkan ibu kota ke daerah yang ternyata banjir, berlubang-lubang bekas tambang, serta membangun dari nol, kini muncul pikiran dan agenda membuat “ikon toleransi”.
Yang dimaksud adalah keinginan membangun terowongan antara Masjid Istiqlal ke Gereja Katedral. Pertanyaan awal dan mendasar, apa gunanya? Tempat pertemuan sembunyi-sembunyi atau agar dapat beribadah bergantian tempat?
Sulit dimengerti cara berpikir sesaat yang tak matang atau mengikuti suara pembisik yang mungkin hanya sekadar cari muka. Jika untuk jalan masuk pendeta atau pastur menuju Masjid, tentu sangat tidak tepat. Sebab, Masjid bukan tempat yang bisa begitu saja “diinjak-injak” non-Muslim. Begitu juga tidak ada kepentingan ustadz atau kiai yang berceramah atau ibadah di masjid harus datang ke gereja tanpa kepentingan apapun.
Bagi jamaah dari kedua keyakinan, tentu tidak bermakna pula. Lalu untuk siapa manfaat terowongan? Mungkin untuk turis. Tetapi gereja dan masjid bukan obyek terbuka bagi turis yang keluar masuk dengan membayar tiket. Ini adalah tempat ibadah, bukan museum atau monumen sejarah.
Ikon toleransi? Rasanya tidak juga. Paling namanya “artificial icon”. Sandiwara atau buat-buatan saja. Bisa-bisa malah menjadi “ikon kebohongan”. Namanya juga artifisial, “bohong-bohongan”.
Jika terowongan ingin bermakna bagi umum, sebaiknya ya jadi penyeberangan jalan. Dari trotoar ke trotoar. Jika pejalan harus selalu memasuki halaman tentu tak baik dari segi estetika maupun keamanan. Untuk sekadar berfungsi sebagai penyeberangan maka tak diperlukan sarana yang berbiaya tinggi.
Konon terowongan juga dimaksudkan agar jemaat Katedral dapat parkir di halaman Istiqlal. Nah jika ini sebagai alasan maka sederhana sekali hanya urusan parkir. Jadi, dari aspek apapun terowongan ini jelas mubazir.
Alih-alih menjadi ikon “jembatan silaturahim”, yang terjadi bisa fitnah. Jika terjadi apa-apa di Gereja maka yang disalahkan bisa jamaah Masjid Istiqlal yang menggunakan terowongan.
Soal toleransi sebaiknya substansial, bukan dengan simbol. Fondasinya tetap “lakum diinukum waliya diin”.
*) Pemerhati Politik dan Keumatan
Bandung, 16 Jumadil Akhir 1441 H/10 Februari 2020 M