Catatan Athian Ali M Da’i*
SALAM-ONLINE: Dalam upaya menyikapi dan mengantisipasi penyebaran COVID-19, masyarakat sangat mengharapkan upaya yang optimal dari pemerintah untuk membendung, serta memberikan arahan yang konkret, jelas dan pasti tentang langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh masyarakat.
Terkait dengan pelaksanaan berbagai ibadah, khususnya pelaksanaan shalat Jum’at, shalat fardu berjamaah, majelis ta’lim, dan lainnya, umat Islam sangat mengharapkan kehadiran Fatwa MUI dalam memberikan pencerahan dan tuntunan agar hubungan secara vertikal dengan Al-Khaliq tidak terganggu.
Fatwa yang ditunggu-tunggu pun akhirnya hadir, kendati kemudian menimbulkan polemik di kalangan para Ulama dan Umat. Sebenarnya tidak ada yang salah, bahkan sudah sangat tepat sekali apa yang telah difatwakan MUI.
Jika kita cermati Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19, dengan sangat eksplisit pada poin nomor 4 dinyatakan:
“Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jum’at di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat Zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Id, di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.”
Sementara pada poin nomor 5 dinyatakan: “Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jum’at.
Timbulnya polemik dalam merealisasikan pelaksanaan fatwa MUI tersebut, bukan terletak pada ketidakjelasan isi fatwa. Tapi semata-mata disebabkan oleh ketidakhadiran pemerintah Pusat maupun Daerah dalam memetakan daerah-daerah mana saja yang termasuk zona merah, di mana penyebaran COVID-19 sudah tidak terkendali dan di mana pula wilayah-wilayah yang termasuk masih terkendali.
Akibat logis dari ketidakhadiran pemerintah Pusat dan atau Daerah dalam pemetaan tersebut, wajarlah jika umat menjadi bingung lalu berpolemik. Apakah di seluruh wilayah di Indonesia sudah harus dianggap berada dalam zona merah akibat penyebaran wabah COVID-19 sudah tidak terkendali, sehingga semua masjid di seluruh wilayah Indonesia harus ditutup, tidak boleh ada pelaksanaan shalat Jum’at, shalat fardhu lima waktu berjamaah, kegiatan ta’lim, dan lainnya, Sampai dengan 29 Mei 2020. Sesuai SK Kepala BNPB Tentang Perpanjangan Status Darurat, atau bahkan sampai waktu yang belum pasti, mungkin tiga atau enam bulan ke depan?
Ketidakhadiran pemerintah Pusat dan Daerah sangatlah dirasakan masyarakat, seperti dinyatakan salah seorang wakil rakyat anggota DPR RI Fadli Zon di akun twitter-nya @fadlizon: “Indonesia seolah tanpa pemimpin hadapi wabah corona.”
Sejak awal, pemerintah memang terkesan bingung dan dilematis. Penyebabnya menurut para pengamat, tanpa adanya kasus Corona sekalipun kondisi perekonomian akan rapuh dalam tiga atau empat bulan mendatang. Terlebih lagi sekarang ditambah dengan adanya wabah Corona.
Selama ini perekonomian negeri ini hanya baik di dunia maya, bukan fakta. Jika dilakukan lockdown, kemungkinan negara akan mengalami chaos dan rezim yang ada akan sulit untuk bertahan.
Dilematis bukan? Tapi apakah karena alasan naif seperti itu 270 juta rakyat harus jadi korban? Dan, mayoritas penduduknya yang Muslim harus mengunci pintu-pintu masjid di seluruh wilayah Indonesia sampai batas waktu yang tidak jelas?
*) Ketua Umum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)