Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Di tengah wabah Corona Presiden menerbitkan Perppu No 1 tahun 2020. Perppu itu kini digugat oleh banyak pihak ke Mahkamah Konstitusi.
Di antara pasal-pasal kontroversial maka Pasal 27 lah yang dinilai paling bermasalah. Pasal ini membuka kesempatan pejabat negara untuk korupsi tanpa ancaman hukum. Pasal kesewenang-wenangan yang dapat menggasak uang negara atas nama darurat kesehatan, wabah Virus Corona.
Perppu ini dinilai sebagai bukti kebijakan Presiden yang melanggar Konstitusi. Oleh karenanya gugatan para tokoh, antara lain Prof Amien Rais, Prof Edi Swasono, Prof Dien Syamsuddin, Dr Marwan Batubara, Drs M Hatta Taliwang, MI.Kom, KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Dr HMS Ka’ban, Dr Ahmad Redi, Dr Abdullah Hehamahua, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, Darmayanto, Roosalina Berlian, serta Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ataupun elemen lainnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan pembuktian lanjutan atas pelanggaran Konstitusi tersebut.
Dalam permohonannya, MAKI, bersama Yayasan Mega Bintang 1997, LP3HI, KEMAKI dan LBH PEKA, meminta pasal 27 pada Perppu tersebut, yang terkait imunitas aparat pemerintahan dari tuntutan perdata dan pidana saat melaksanakan aturan, agar dibatalkan.
Berhasil atau tidak (gugatan itu), fakta hukum telah terjadi, yakni kebijakan sewenang-wenang tanpa dasar hukum. Negara kekuasaan (machstaat).
Di samping kasus Perppu 1 tahun 2020 terkait penanganan Corona, Presiden juga dinilai telah melakukan perbuatan lainnya yang dapat dikualifikasikan sebagai “Pelanggaran Konstitusi”, antara lain:
Pertama, melanggar HAM berat yakni pembiaran tanpa pengusutan meninggalnya 700 an petugas Pemilu 2019 serta tewasnya sebagian peserta aksi 22 Mei 2019 di depan Kantor Bawaslu Jakarta. Hak yang semestinya dijaga dan dilindungi sesuai Pasal 28 UUD 1945.
Kedua, kebijakan ekonomi dan politik yang mengarah pada kapitalisme dan liberalisme yang menyebabkan proses politik menjadi bersifat transaksional. Pembangunan ekonomi yang mengabaikan asas ekonomi kerakyatan dan kekeluargaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945. Investasi asing justru yang digalakkan.
Ketiga, politik luar negeri bebas aktif yang digeserkan pada persahabatan dominan dengan Republik Rakyat Cina. Negara komunis dan penjerat utang. TKA Cina yang membanjiri negeri. Hal ini tentu bertentangan dengan makna Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dan keempat.
Keempat, tidak konsisten mengelola negara yang bersih dari KKN. Merevisi UU KPK dengan akibat pengebirian Komisioner. Dewan Pengawas dengan keanggotaan yang diangkat dan ditetapkan oleh Presiden menjadi dominan dan penentu. Bertentangan dengan semangat agar penyelenggara negara menjalankan Konstitusi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945.
Kelima, “pemaksaan” keinginan pindah ibu kota dan pengendalian hukum melalui “omnibus law” tanpa mengindahkan aspirasi rakyat adalah pelanggaran atas asas kedaulatan rakyat dan negara hukum yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1955.
Dengan langkah dan kebijakan Presiden yang diindikasikan telah melakukan pelanggaran Konstitusi ini, maka baik DPR, Mahkamah Konstitusi, maupun MPR harus bersikap lebih tegas, obyektif dan independen. Bebas dari pengendalian politik Pemerintah. Segera secara konstitusional untuk mengawasi serius, mengoreksi, dan jika perlu segera memberhentikan Presiden dari jabatannya.
Kebaikan berbangsa dan bernegara harus menjadi prioritas dari langkah dan kebijakan politik yang diambil oleh lembaga-lembaga yang kompeten.
Kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum harus secepatnya ditegakkan kembali.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 26 Sya’ban 1441 H/20 April 2020 M