Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: DPR RI telah mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang (UU) di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara pada 12 Mei 2020. Rapat dipimpin Ketua DPR RI Puan Maharani, didampingi Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, Rahmat Gobel dan Sufmi Dasco Ahmad.
Rapat dihadiri secara fisik dalam ruangan oleh 41 anggota DPR. Sedangkan 255 anggota “hadir” secara virtual. Artinya dari jumlah anggota DPR 575 hadir 296 orang dan yang tidak hadir 279 orang. Memprihatinkan sebenarnya. “Dengan demikian kuorum telah tercapai,” kata Puan.
Sesuai dengan berita media bahwa awalnya Ketua Banggar DPR Said Abdullah memaparkan pandangan masing-masing Fraksi. Hanya Fraksi PKS yang menyatakan tidak setuju Perppu Corona disahkan menjadi Undang-Undang.
Lalu Puan menanyakan :
“Apakah RUU tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease atau Covid-19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan, dapat disetujui menjadi Undang Undang?” tanya Puan.
“Tadi sudah disampaikan dalam pandangan mini fraksi bahwa ada delapan fraksi menyetujui dan satu fraksi menolak, apakah perlu saya ulangi pandangan mini fraksi menjadi suatu keputusan suatu semua fraksi setuju, ya?” lanjutnyanya yang kemudian dijawab “setuju” oleh anggota DPR yang hadir.
Jika memang kenyataannya seperti diberitakan di atas maka sangat nyata Keputusan Pengesahan Perppu No 1 tahun 2020 adalah TIDAK SAH.
Tiga hal yang mendasari alasannya, yaitu:
Pertama, bagaimana bisa Fraksi yang menolak dapat dinyatakan menjadi “semua fraksi setuju”. Dan itu hanya dinyatakan dan disetujui oleh 41 anggota yang hadir.
Kedua, dengan ada satu Fraksi menolak yaitu Fraksi PKS, maka putusan tidak boleh bersifat aklamasi dengan mendengar suara “setujuuu”, harus dengan penghitungan suara (voting).
Ketiga, persetujuan pengesahan Perppu tersebut hanya disetujui oleh 41 anggota yang hadir di ruangan. Sedangkan 255 anggota yang “hadir” secara virtual tidak memberikan kalimat persetujuan. Mereka tidak bisa berpendapat.
Adakah posisinya di “unmute” (dibuat bersuara) oleh host? Mereka itu “hadir”. Semestinya ikut berpendapat dan bersuara.
Jika benar “unmute” (bersuara/berpendapat) maka ini memperkuat ketidakabsahan Keputusan. Sebab, pertama, meskipun Fraksi setuju tetapi dalam kapasitas sebagai anggota Dewan di ruang Paripurna bisa saja tidak setuju. Sidang Paripurna itu tidak bersifat fraksional. Persetujuan adalah per-orangan. Kedua, meski seseorang itu setuju maka ia pun tak terhalang untuk bisa membuat catatan “minderheidsnota” yang berguna baginya sebagai pertanggungjawaban dari sikap yang diambilnya.
Dengan demikian, maka Keputusan yang “Tidak Sah” tidak dapat dijadikan dasar hukum atas kebijakan yang diambil. Semua produk akan turut menjadi cacat hukum. Model kehadiran virtual, meski hal biasa dalam persidangan, akan tetapi untuk keputusan penting seperti pengesahan Perppu seperti ini semestinya dilaksanakan dengan secermat mungkin dan tak ada hak-hak yang terhalangi.
Apalagi sidang ini menjadi luar biasa dengan mengesahkan keputusan-keputusan penting (empat keputusan) dengan waktu yang “mepet” dan terkesan “kejar tayang”. Semestinya ada prioritas dalam pengambilan keputusan/pengesahan.
DPR dinilai tidak menghargai aspirasi rakyat tentang begitu pedulinya rakyat terhadap Perppu yang “sarat kepentingan” Pemerintah ini. Betapa “enteng”nya Dewan mengetuk palu atas suatu UU yang akibat ikutannya sangat menentukan nasib rakyat banyak.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 20 Ramadhan 1441 H/13 Mei 2020 M