Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Badan tegap seorang prajurit TNI menggambarkan kejiwaannya. Konsisten, semangat dan berani.
Pemimpin Serdadu Eks Trimatra Nusantara ini ditangkap polisi di kampung halamannya, di Desa Matanauwe, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada Kamis 28 Mei 2020. Dia ditangkap polisi diduga berkaitan dengan isi surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mundur dari jabatannya.
Ruslan Buton termasuk profil prajurit yang langka. Dipecat dari statusnya atas tuduhan kriminal tetapi tetap bahkan lebih kokoh berjuang memenuhi kewajibannya sebagai pembela tanah air. Berkontribusi bagi bangsa dengan cara dan keyakinannya.
Usai bebas, Ruslan Buton membentuk kelompok Serdadu Eks Trimatra Nusantara. Dia didapuk sebagai Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara.
Ruslan acap kali mengkritik pemerintah. Ruslan Buton pernah membuat surat terbuka untuk Presiden RI terkait kasus penembakan anggota TNI di Papua yang dilakukan oleh Gerakan Separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal itu dilakukannya pada 2019.
Selain itu, Ruslan Buton juga pernah mengeluarkan pernyataan di media sosial pada 25 Januari 2020. Pernyataanya itu terkait perseteruan antara M Said Didu dan Luhut Binsar Panjaitan tentang video Youtube yang diunggah Said Didu berjudul ‘Luhut Hanya Pikirkan Uang, Uang dan Uang’. Dalam hal ini, Ruslan Buton mendukung Said Didu.
Ruslan Buton saat ini berurusan dengan polisi karena dituding menyebarkan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo melalui rekaman suara yang tersebar di media sosial. Dalam rekaman, Ruslan Buton menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo selama ini merugikan rakyat.
“Di tengah pandemi Covid-19, saya melihat tata kelola bangsa dan bernegara yang sulit dicerna oleh akal sehat untuk dipahami oleh siapapun. Kebijakan-kebijakan saudara selalu melukai dan merugikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” kata Ruslan dalam sebuah rekaman yang dikutip berbagai media, Jumat (29/5/2020).
Ruslan Buton meminta kesediaan Jokowi untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Menurut dia, itu solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa ini.
“Saya mohon dengan hormat agar Saudara dengan tulus dan ikhlas secara sadar untuk mengundurkan diri dari jabatan saudara sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini perlu dilakukan demi kepentingan bangsa untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum kedaulatan negara benar-benar runtuh dan dikuasai asing. Saya tahu ini adalah pilihan sulit namun merupakan pilihan terbaik,” ucap Ruslan Buton.
Ruslan Buton khawatir jika Jokowi tak melakukan hal itu akan ada gerakan reformasi besar-besaran.
Meski berhadapan dengan hukum. Mungkin untuk kedua kalinya, Buton menunjukkan perlawanan dengan tidak menandatangani BAP. Artinya ada keyakinan bahwa yang dilakukannya bukan perbuatan melawan hukum.
Audio surat terbuka mendesak Presiden Joko Widodo mundur diyakinnya sebagai hak konstitusional. Demikian pula soal “keniscayaan aksi rakyat” adalah persepsi dan kekhawatiran terhadap keadaan. Bukan ajakan untuk melakukan.
Bahwa proses hukum dan langkah pihak berwenang wajar pula, meski warning publik meminta agar tidak “parno” dalam menangani. Walaupun telah ditetapkan status tersangka dan ditahan, akan tetapi asas “presumption of innocent” tetap harus diterapkan. Masih mungkin sangkaan tak terbukti atau bukti tidak menunjukkan perbuatan pidana. Dalam tahap penyidikan bisa saja SP3.
Simpati dan dukungan publik patut dibaca sebagai konstelasi sekaligus aspirasi dari perasaan keadilan rakyat. Klarifikasi atas dasar pemecatan dahulu serta kesaksian riwayat hidup dari kontribusi sosial Ruslan Buton bermunculan. Nuansanya pembelaan dan simpati terhadap mantan prajurit TNI berjiwa “beton” ini. Selintas terbayamg tipe in-fighter si leher “beton” Mike Tyson.
Putra Sulawesi sebelumnya yang muncul di ruang perjuangan hukum adalah Said Didu kini Ruslan Buton. Keduanya sama berhadapan dengan kekuasaan politik. Rezim yang dinilai otoriter dan jauh dari aspirasi kerakyatan.
Seruan atau imbauan agar Presiden mengundurkan diri memiliki landasan hukum Ketetapan MPR No VI/MPR/2001. Jadi bukan tak berdasar. Apa yang diimbaukan dengan “suara agak keras” oleh Ruslan Buton itu hanya gaya saja.
Jika proses berlanjut, dan dukungan agar Buton dibebaskan tak berhasil, maka publik akan dibawa ke arah “pertunjukan” politik dan hukum yang menarik.
Seorang prajurit yang dipecat masih berjiwa prajurit, tampil heroik, memperjuangkan keyakinan akan perlunya Presiden mengundurkan diri karena ketidakmampuan mengatasi krisis ekonomi, korupsi, tenaga kerja asing, bahkan komunisme. Berjuang membuktikan hak hak konstitusional yang semestinya dilindungi oleh hukum.
Disadari atau tidak, memang negara ini butuh orang berani, mandiri dan yang selalu teguh beramar ma’ruf nahi munkar demi kebaikan bangsa dan negara. Tidak membiarkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik yang terus melemah digerogoti oleh rayap-rayap korupsi dan perbudakan asing. Kepura-puraan dalam memperkaya diri, keluarga dan kroninya.
Ruslan Buton adalah bagian dari fenomena perlawanan itu.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 10 Syawal 1441 H/2 Juni 2020 M