Catatan Dr Tony Rosyid*
SALAM-ONLINE: Inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila(RUU HIP) adalah PDIP. Rakyat tahu itu PDIP sukses mempengaruhi sejumlah fraksi di DPR. Nyaris tanpa penolakan. Kecuali Fraksi PKS (yang menolak).
Dari awal (PKS) konsisten ingin memperjuangkan masuknya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tak digubris. Fraksi yang lain diam. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tidak tanda tangan.
Ketika maklumat MUI keluar dan protes Umat Islam terjadi di mana-mana, sejumlah anggota fraksi membuat pernyataan. Ikutan menolak. Cari aman. Ah, kayak gak tahu aja kelakuan parpol. Klasik!
Saat ini, RUU HIP sudah diserahkan oleh DPR ke pemerintah. Bola sekarang ada di pemerintah. Semua mata tertuju ke pemerintah. Konsentrasi rakyat fokus ke pemerintah. Lalu, bagaimana sikap pemerintah? Mendengarkan rakyat? Atau mendukung PDIP?
“Tunda,” kata pemerintah. Pemerintah nampaknya ingin melihat-lihat dulu. Pertama, bagaimana reaksi PDIP. Kedua, bagaimana reaksi umat Islam. Mana yang paling kuat, biasanya itu yang akan jadi pilihan Joko Widodo. Polanya sering terbaca begitu.
Jika pressure (tekanan) umat Islam kuat, pemerintah tak ada pilihan lain kecuali “menolak” RUU HIP. Jika sebaliknya, protes umat Islam meredup dan PDIP kuat tekanannya, pemerintah akan minta RUU HIP dilanjutkan.
Sebagaimana diketahui, sikap MUI, NU, Muhammadiyah, Ansor, Pemuda Pancasila, FPI, dan sejumlah elemen masyarakat lainnya tegas: Stop RUU HIP. Hentikan, jangan dilanjutkan. Batalkan! Bukan revisi. Bukan juga ditunda.
Tapi, PDIP keberatan. Tak ada tanda-tanda menyerah. Lanjut! Coba bernegosiasi. Buat kompromi-kompromi. Tawarkan revisi. TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dimasukkan. Tapi, larangan radikalisme dan Khilafah juga harus dimasukkan. Win-win solution dengan umat Islam. Sampai disini, PDIP masih cukup percaya diri.
Umat Islam melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan sejumlah ormas yang lain gak menanggapi nego PDIP. Belakangan, PBNU muncul. Suaranya sangat lantang: Hentikan! Pandangan dan sikap PBNU tegas dan lugas. Dasar pemikirannya lengkap, terukur dan berkelas.
Perseteruan antara MUI, NU, Muhammadiyah plus Ormas-Ormas Islam lainnya dengan PDIP sebagai inisiator RUU HIP nampaknya akan makan waktu panjang. Maraton. Sudah hampir sepekan ini, dua kelompok di atas berdebat di media.
Adu argumen, adu cerdik dan juga adu strategi kedua belah pihak kemungkinan akan makin ramai. Tidak saja di media, tapi juga dalam bentuk aksi demonstrasi. Di sejumlah daerah sudah terjadi. Demo ada di mana-mana. Nampaknya makin panas.
Perdebatan tidak saja soal materiil dan formilnya, tapi juga menyoal apa motif RUU HIP ini dilahirkan. Soal yang terakhir ini justru yang menarik. Sekaligus semakin memanaskan situasi.
Di sini, kepemimpinan Joko Widodo akan diuji. Rakyat menunggu keputusan tegasnya. Tak mudah, memang. PDIP, tak saja sebagai partai pemenang. Tapi, PDIP juga partai yang paling berjasa menjadikan Joko Widodo sebagai presiden.
Sementara di sebelah, MUI, NU, Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam memiliki kekuatan massa yang tak kecil. Jika isunya semakin matang, maka akan sangat merepotkan Joko Widodo. Legitimasi moral dan gelombang kekuatannya bisa lebih dahsyat dari 212. Asumsi ini tak terukur jika belum dibuktikan. Emang mau dibuktikan?
Rakyat akan menunggu ke depan. Pertama, lebih kuat mana pressure PDIP vs pressure MUI yang didukung NU dan Muhammadiyah itu. Kedua, ke mana pilihan Joko Widodo akan berpihak. Kepada PDIP, atau kepada umat?
Rakyat sedang menunggu.
Jakarta, 26 Syawwal 1441 H/18 Juni 2020
*) Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa