Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Rapat tertutup Kabinet tanggal 18 Juni 2020 disebarkan sepuluh hari kemudian oleh pihak Istana sendiri ke publik. Mungkin menganggap arahan Presiden itu hebat dan dapat membangun citra diri Presiden yang peduli pada rakyat, tegas, disiplin, atau entah apalagi. Harapannya banjir pujian publik dengan diedarkannya video itu.
Tetapi dengan tingkat kepercayaan yang semakin merosot di masyarakat menyebabkan muncul beragam reaksi atas pidato pengarahan rapat kabinet tertutup tersebut. Alih alih dipuji, malah banyak tanggapan miring. Bahkan ada yang menyebut “dagelan istana”
Memang, “adegan (marah)” itu memperlihatkan kelemahan kepemimpinan Joko Widodo.
Pertama, kepanikan. Nada putus asa atas kondisi yang ada. Terkesan Pemerintah gagal. Sebabnya adalah menteri-menteri yang bersikap “biasa-biasa”.
Kedua, tidak bijak. Mempertontonkan kemarahan kepada pembantu di depan rakyat. Ini model kepemimpinan marah-marah ala Ahok dan Risma.
Ketiga, mempermalukan. Menkes korban terberat dalam “adegan” ini. Dana yang disediakan yang tak sebanding dengan tingkat penyerapan. Tanpa analisis sebab dan solusi.
Keempat, menggampangkan. Aturan dari Perpres hingga Perppu dianggap enteng. Perppu itu untuk “genting dan memaksa” bukan hanya sekadar “mengeluarkan duit” dengan cara dipaksa-paksa.
Kelima, mengancam dan sok kuasa. Tak ada empati dan mendalami persoalan. Yang ada ancaman reshuffle. Jika bukan “sandiwara”, menteri harusnya tersinggung. Mengundurkan diri semua. Baru “nyaho”.
Keenam, Presiden otoriter, bukan koordinator. Arahan seperti ini akan dijalankan secara terpaksa atau tidak bertanggung jawab. Menteri akan semakin kerja asal-asalan. Yang penting duit keluar. Ada perintah.
Ketujuh, aneh, rapat kabinet tidak seperti rapat, akan tetapi seperti agenda ceramah. Menteri hadir hanya untuk mendengar. Bukan meja rapat yang digunakan. Meja indoktrinasi.
Kedelapan, pandemi Covid sebagai tameng untuk berbuat apa saja, termasuk menghambur-hamburkan uang. Terkesan Presiden marah karena menteri tak mahir “memainkan” dana Covid-19.
Ujung dari semua “episode” ini adalah Presiden Joko Widodo sebagai penanggung jawab Pemerintahan sebenarnya yang malu memiliki korps yang kelasnya diam, termenung, hanya mencatat apa yang disemburkannya itu. Padahal di hadapan Presiden itu ada guru besar, pengusaha, atau jenderal tentara dan polisi.
Tapi sebagai “dagelan” ya mungkin itu bisa-bisa saja. Orang curiga dan ragu karena Pak Presiden sering ketahuan “acting”nya. Kini pun membuat orang berpikir juga, benarkah “adegan” itu marah-marah sebenarnya? Kalau pun benar adakah dampak politiknya? Ada kawan “nyeletuk”, sebenarnya mana yang lebih mendesak resuffle Menteri atau Presiden?
Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 8 Dzulqo’dah 1441 H/29 Juni 2020 M