Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE: Sekelompok orang telah membuat kegaduhan dan kekacauan di negeri ini. Mereka ngotot memaksakan untuk mengubah Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Ketika upaya mereka menghadirkan RUU HIP ditentang rakyat, khususnya umat Islam, yang tidak menghendaki komunisme bangkit kembali di negeri ini, maka mereka pun berupaya memperdaya rakyat dengan mengubah judul HIP menjadi BPIP. Mereka bodoh ketika mengira rakyat semudah itu bisa dibodohi.
Dicantumkannya TAP MPRS nomor XXV tahun 1966 dan dihapusnya Trisila dan Ekasila dalam RUU BPIP samasekali tidak mengubah sedikit pun niat mereka untuk mengubah Pancasila . Terbukti RUU BPIP yang ditawarkan pemerintah sebagai pengganti RUU HIP tetap pada esensi yang sama, yakni menjadikan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 tentang Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila sebagai ideologi Pancasila, sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila.
Sebenarnya sangat dzahar (terang) “eksplisit” upaya yang mereka perjuangkan selama ini secara sistematis dan masif bersama pemerintah.
Dimulai dengan lahirnya Keppres Nomor 24 tahun 2016 yang dilanjutkan kemudian dengan dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perppres Nomor 7 Tahun 2018, hingga munculnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang kini bernama RUU BPIP. Semua ini merupakan mata-rantai menuju terciptanya Ideologi Pancasila 1 Juni 1945.
Jika RUU BPIP berhasil (na’uudzubillaah) menjadi UU, maka BPIP akan berperan sebagai penafsir tunggal Pancasila sesuai Ideologi Pancasila 1 Juni 1945, baik dalam sistem hukum, juga dalam pembentukan Undang-Undang maupun dalam rangka implementasi penegakan hukum.
Setiap pribadi, kelompok atau ormas yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah dengan mudah akan diposisikan sebagai anti Pancasila. Di samping itu juga pemerintah lewat BPIP memiliki kekuasaan penuh untuk menetapkan ajaran atau paham keagamaan mana saja yang dianggap bertentangan dengan tafsir ideologi Pancasila 1 Juni 1945.
Jika ini sampai terjadi (sekali lagi na’uudzubillaah mindzaalik) akan sulit dihindari benturan pertentangan yang sangat tajam, antara tafsir Pancasila versi BPIP dengan Agama, terutama sekali dengan hilangnya Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, atau diganti dengan Ketuhanan yang berkebudayaan sesuai Ideologi Pancasila 1 Juni 1945.
Kita semua tentu maklum, Pancasila selama ini diyakini sebagai lima rukun (Tiang) bagi berdirinya bangunan negara Republik Indonesia. Masing-masing tiang tentu saja harus berdiri kokoh agar menjadi fondasi yang kuat.
Bangunan Republik ini tentu saja tidak akan berdiri kokoh atau bahkan berpotensi runtuh jika hanya dengan tiga tiang (trisila), apalagi hanya satu tiang (ekasila).
Terlebih lagi yang mereka ingin runtuhkan adakah tiang yang paling utama, yaitu sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penduduk negeri ini beragama, karenanya semua sepakat menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di Sila Pertama, dengan maksud agar agama menjadi norma yang sepenuhnya mewarnai seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tidak ada orang yang anti Agama, anti Tuhan dan anti Hak Asasi Manusia di negeri ini kecuali komunis.
Itulah sebabnya mengapa kehadiran RUU beraroma komunis ini membuat rakyat, terutama umat Islam, bangkit, karena rakyat, khususnya kaum Muslimin, yakin akan keberadaan sekelompok orang yang selama ini begitu gigih berupaya membangkitkan kembali neo-komunisme di negeri ini.
Karenanya sangatlah wajar jika rakyat, khususnya umat Islam, kini bukan hanya mencurigai kehadiran RUU HIP yang kemudian berganti nama menjadi RUU BPIP. Tapi juga semakin mencurigai keberadaan lembaga BPIP itu sendiri, terutama setelah pimpinannya yang baru di awal jabatannya sempat membuat pernyataan yang sangat tidak patut dinyatakan oleh orang yang beragama, ketika yang bersangkutan menyatakan Agama adalah musuh terbesar Pancasila.
Sangatlah wajar kiranya jika rakyat, khususnya umat Islam sekarang ini menuntut, tidak sekadar hanya menolak RUU HIP atau BPIP atau apa pun namanya, tapi juga menuntut agar inisiator RUU HIP diproses secara hukum dan juga agar lembaga BPIP dibubarkan.
Seharusnya semua pihak di negeri ini menghormati pengorbanan yang telah dilakukan umat Islam sejak awal berdirinya negeri yang kemerdekaannya juga diraih dari pengorbanan jiwa raga para pahlawan yang mayoritas Muslim.
Dengan sikap tasamuh “toleransi” yang luar biasa, umat Islam rela mengorbankan salah satu prinsip Islam yang sangat mendasar yang tercantum pada Sila Pertama rumusan tanggal 22 Juni 1945, untuk dihapus, yakni “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, demi persatuan dan keutuhan NKRI.
Karenanya, jika mereka yang ingin mengubah Pancasila yang telah dirumuskan dan disepakati bersama pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan mengembalikannya bukan kepada rumusan aslinya (22 Juni 1945), tapi hanya sebatas pada pemikiran yang disampaikan Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, maka sangatlah wajar jika rakyat, khususnya umat Islam, bangkit dan menuntut agar mereka dinyatakan sebagai pengkhianat yang telah melakukan makar terhadap ideologi negara. Sebab, mereka berupaya menghidupkan kembali paham komunis yang dilarang di negeri ini. Karena itu sudah seharusnya mereka diproses secara hukum.
Jika upaya mereka dibiarkan bahkan terkesan didukung pemerintah, maka jangan salahkan jika umat Islam juga bangkit. Untuk memperjuangkan kembali salah satu prinsip Islam yang sangat mendasar yang telah dikorbankan selama 75 tahun demi toleransi dan menjaga keutuhan NKRI. Yakni menuntut agar Pancasila dikembalikan lagi kepada rumusan 22 Juni 1945 yang disebut sebagai “Piagam Jakarta”.
*) Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia dan Ketua Umum ANNAS Indonesia